Pengertian Tawassul dan bolehnya bertawassul kepada orang yang telah wafat


Assalamu 'alaikum warahmatulahi wabarakatuhu Sahabat Rumah-Muslimin yang semoga selalu dalam Lindungan Allah dan RahmatNya Allah SWT, kali ini kami akan membahas dengan tema, Pengertian Tawassul dan bolehnya bertawassul kepada orang yang telah wafat, selamat membaca, dan semoga ada manfaat didalamnya. 

Definisi Tawassul

Tawassul memiliki arti dasar “mendekat”, sementara Wasilah adalah media perantara untuk mencapai tujuan. Tawassul yang dimaksud disini adalah mendekatkan diri kepada Allah Swt dengan menggunakan perantara lain, baik nama-nama Allah (al-Asma’ al-Husna), sifat-sifat Allah, amal shaleh, atau melalui makhluk Allah, baik dengan doanya atau kedudukannya yang mulia disisi Allah. (al-Mausu'ah al-Fiqhiyah).

Macam-Macam Tawassul

Tawassul memiliki empat macam, tiga diantaranya disepakati kebolehannya oleh para ulama, sementara yang satu macam masih diperselisihkan, yakni ada ulama yang memperbolehkannya dan ada pula yang melarang. Tiga macam tawassul yang disepakati kebolehannya adalah:

1. Tawassul dengan Nama-Nama Allah (Asma al-Husna)
Allah berfirman yang artinya “Hanya milik Allah asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu”. (Al-A’raf:180)

2.  Tawassul dengan Amal Sholeh
Tawassul ini berdasarkah hadits shahih yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim yang mengisahkan tentang tiga orang yang terperangkap dalam sebuah gua. Lalu mereka bertawassul dengan amal shalih mereka masing-masing. Orang yang pertama bertawassul dengan amal shalihnya yang berupa amal bakti kepada kedua orang tuanya. Orang yang kedua bertawassul dengan rasa takutnya kepada Allah Swt saat membatalkan perbuatan zina kepada keponakannya. Sedangkan orang yang ketiga bertawassul dengan menjaga dan memberikan hak buruh yang ada padanya. Akhirnya Allah Ta’ala membukakan pintu gua itu dari batu besar yang menghalangi mereka, yang pada akhirnya mereka bertiga bisa keluar dari dalam gua dengan selamat.

3. Tawassul dengan Orang yang Masih Hidup
Sahabat Umar yang bertawassul dengan Abbas: “Diriwayatkan dari Anas bahwa ketika umat Islam berada di musim kering, maka Umar bin Khattab t meminta hujan kepada Allah dengan perantara Abbas bin Abdul Muthallib (paman Nabi). Umar berdoa: “Ya Allah, sesungguhnya kami bertawassul kepada-Mu dengan Nabi kami, kemudian Engkau beri hujan pada kami. Dan kami bertawassul kepada-Mu dengan paman Nabi kami, maka berilah hujan pada kami”. Anas berkata: “Kemudian mereka diberi hujan”. (HR. al-Bukhari)

Begitu pula Muawiyah dan Dlahhak bertawassul dengan Yazid bin Aswad (HR. Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh al-Dimasyqi dengan sanad yang shahih)

4. Tawassul dengan Orang yang Telah Wafat
Tawassul inilah yang diperselisihkan. Diantara ulama yang memperbolehkan adalah Imam Malik, Imam Ahmad, Imam Nawawi, Imam Subki, al-Qasthalani (ahli hadis), al-Hakim, al-Hafidz al-Baihaqi, al-Hafidz al-Thabrani, al-Hafidz al-Haitsami, Ibnu Hajar al-Haitami, al-Karmani, al-Jazari, Ibnu al-Hajj, al-Sumhudi dan masih banyak lagi ulama lain yang memperbolehkannya. Namun ada pula sebagian kecil golongan umat Islam yang melarang tawassul semacam ini.

Berikut ini adalah dalil hadits tentang tawassul dengan orang-orang yang telah wafat: “Diriwayatkan dari Utsman bin Hunaif bahwa ada seorang laki-laki datang kepada (Khalifah) Utsman bin Affan untuk memenuhi hajatnya, namun sayidina Utsman tidak menoleh ke arahnya dan tidak memperhatikan kebutuhannya. Kemudian ia bertemu dengan Utsman bin Hunaif (perawi) dan mengadu kepadanya. Utsman bin Hunaif berkata: Ambillah air wudlu' kemudian masuklah ke masjid, salatlah dua rakaat dan bacalah: “Ya Allah sesungguhnya aku meminta-Mu dan menghadap kepada-Mu melalui Nabi-Mu yang penuh kasih sayang, wahai Muhammad sesungguhnya aku menghadap kepadamu dan minta Tuhanmu melaluimu agar hajatku dikabukan. Sebutlah apa kebutuhanmu”. Lalu lelaki tadi melakukan apa yang dikatakan oleh Utsman bin Hunaif dan ia memasuki pintu (Khalifah) Utsman bin Affan. Maka para penjaga memegang tangannya dan dibawa masuk ke hadapan Utsman bin Affan dan diletakkan di tempat duduk. Utsman bin Affan berkata: Apa hajatmu? Lelaki tersebut menyampaikan hajatnya, dan Utsman bin Affan memutuskan permasalahannya”. (HR. Al-Thabrani dalam al-Mu'jam al-Kabir dan al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwwah. Doa ini dikutip oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Majmu' al-Fatawa, I/264, dan al-Tawassul wa al-Wasilah, II/199)

Ulama Ahli hadits al-Hafidz al-Haitsami berkata: “Dan sungguh al-Thabrani berkata (setelah al-Thabrani menyebut semua jalur riwayatnya): "Riwayat ini sahih”. (Majma’ al-Zawaid, II/565)

Perawi hadits ini, Utsman bin Hunaif, telah mengajarkan tawassul kepada orang lain setelah Rasulullah Saw wafat. Dan kalaulah tawassul kepada Rasulullah dilarang atau bahkan dihukumi syirik maka tidak mungkin seorang sahabat akan mengajarkan hal-hal yang menyimpang dari ajaran Rasulullah Saw.

Bahkan Utsman bin Hunaif menyaksikan sendiri ketika Rasulullah Saw mengajarkan doa Tawassul diatas sebagaimana dalam riwayat sahih berikut ini: “Dari Utsman bin Hunaif: “Suatu hari seorang yang buta datang kepada Rasulullah Saw, ia berkata: “Wahai Rasulullah, ajarkan saya sebuah doa yang akan saya baca agar Allah mengembalikan penglihatan saya”. Rasulullah berkata: “Bacalah doa (Allahumma inni as'aluka wa atawajjahu ilaika bi nabiyyika nabiyyirrahmati Ya Muhammad qad tawajjahtu bika ila Rabbi. Allahumma Syaffi'hu fiyya wa syaffi'ni fi nafsi): “Ya Allah sesungguhnya aku meminta-Mu dan menghadap kepada-Mu melalui Nabi-Mu yang penuh kasih sayang, wahai Muhammad sesungguhnya aku menghadap kepadamu dan minta Tuhanmu melaluimu agar dibukakan mataku, Ya Allah berilah ia syafaat untukku dan berilah aku syafaat. Kemudian ia berdoa dengan doa tersebut, ia berdiri dan telah bisa melihat” (HR. Hakim dan al-Turmudzi)
Bertawassul Saat Ziarah Kubur

Berikut ini pendapat para ahli hadis tentang tawassul saat ziarah kubur:

Sahabat Bilal bin Harits al-Muzani. “Dari Malik al-Dari (Bendahara Umar), ia berkata: Telah terjadi musim kemarau di masa Umar, kemudian ada seorang laki-laki (Bilal bin Haris al-Muzani) datang  ke makam Rasulullah Saw, ia berkata: Ya Rasullah, mintakanlah hujan untuk umatmu, sebab mereka akan binasa. Kemudian Rasulullah datang kepada lelaki tadi dalam mimpinya, beliau berkata: Datangilah Umar…”. (HR Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu Hajar, Fathul Bari, III/441. Beliau berkata: Sanadnya jayyid)

Ahmad Bin Hanbal. "Saya (Abdullah bin Ahmad) bertanya kepada Imam Ahmad tentang seseorang yang memegang mimbar Nabi Saw, mencari berkah dengan memegangnya dan menciumnya. Ia juga melakukannya dengan makam Rasulullah seperti diatas dan sebagainya. Ia lakukan itu untuk mendekatkan diri kepada Allah. Imam Ahmad menjawab: "Tidak apa-apa" (Ahmad bin Hanbal al-'lal wa Ma'rifat al-Rijal 3243)

Imam Syafi'i. "Dari Ali bin Maimun, ia berkata: Saya mendengar Syafi'i berkata bahwa: Saya mencari berkah dengan mendatangi makam Abu Hanifah setiap hari. Jika saya memiliki hajat maka saya salat dua rakaat dan saya mendatangi makam Abu Hanifah. Saya meminta kepada Allah di dekat makam Abu Hanifah. Tidak lama kemudian hajat saya dikabulkan" (al-Hafidz Khatib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad I/123)

al-Hafidz Ibnu Hajar. "al-Hakim berkata: Saya mendengar Abu Ali al-Naisaburi berkata bahwa saya berada dalam kesulitan yang sangat berat, kemudian saya bermimpi melihat Rasulullah Saw seolah beliau berkata kepada saya: Pergilah ke makam Yahya bin Yahya, mintalah ampunan dan berdolah kepada Allah, maka hajatmu akan dikabulkan. Pagi harinya saya melakukannya dan hajat saya dikabulkan" (al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Tahdzib al-Tahdzib XI/261)

al-Hafidz Ibnu al-Jauzi dan al-Hafidz al-Dzahabi. Kedua ulama ahli hadits ini menyebutkan tentang makam ulama shufi: “Ma’ruf al-Karkhi wafat pada tahun 200 H, kuburnya di Baghdad dicari berkahnya. Ibrahim al-Harabi berkata: “Makam Ma’ruf adalah obat yang mujarrab”. (Ibnu al-Jauzi, Shifat al-Shafwah, II/324 dan Al-Dzhabi, Tarikh al-Islam; XIII/404, dan Siyar A’lam al-Nubala’; IX/343)

Penutup

Berdasarkan dalil dan argument para ahli hadis diatas menunjukkan bahwa Tawassul dengan berbagai macam jenisnya adalah diperbolehkan dan bukan syirik. Tentunya dengan keyakinan bahwa yang mengabulkan doa dalam Tawassul adalah Allah Swt.

=================

Dalil bolehnya bertawassul kepada orang yang telah wafat

Tawassul inilah yang selalu diperselisihkan umat Islam. Diantara ulama yang memperbolehkan adalah Imam Malik, Imam Ahmad, Imam Nawawi, Imam Subki, al-Qasthalani (ahli hadis), al-Hakim, al-Hafidz al-Baihaqi, al-Hafidz al-Thabrani, al-Hafidz al-Haitsami, Ibnu Hajar al-Haitami, al-Karmani, al-Jazari, Ibnu al-Hajj, al-Sumhudi dan masih banyak lagi ulama lain yang memperbolehkannya.

Namun ada pula sebagian kecil golongan yang melarangnya, seperti kelompok Wahhabi dan yang sepaham dengannya. Sedangkan Ibnu Taimiyah yang tergolong ulama besar dari kalangan Wahhabi tidak sepenuhnya melarang tawassul dengan Rasulullah e atau dengan yang lain. Menurutnya, jika tawassul kepada Nabi Muhammad e dimaksudkan sebagai bentuk rasa keimanan dan kecintaan kepadanya maka diperbolehkan. Berikut petikannya:

وَإِذَا حُمِّلَ عَلَى هٰذَا الْمَعْنَى لِكَلَامِ مَنْ تَوَسَّلَ بِالنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم بَعْدَ مَمَاتِهِ مِنَ السَّلَفِ كَمَا نُقِلَ عَنْ بَعْضِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَعَنِ الْإِمَامِ أَحْمَدَ وَغَيْرِهِ كَانَ هَذَا حَسَناً وَحِيْنَئِذٍ فَلاَ يَكُوْنُ فِي الْمَسْأَلَةِ نِزَاعٌ )قاعدة جليلة في التوسل والوسيلة ۲/۱۱۹(

“Jika ucapan orang-orang dari kalangan ulama salaf yang bertawassul kepada Rasullah e setelah beliau wafat diarahkan pada pengertian ini (tawassul karena iman dan cinta pada Rasulullah) seperti yang dikutip dari sebagian sahabat, Tabiin, Imam Ahmad dan sebagainya, maka hukumnya bagus dan tidak ada pertentangan”. (al-Tawassul wa al-Wasilah II/119)

Berikut ini adalah dalil-dalil hadits tentang tawassul dengan orang-orang yang telah wafat:

a.      Riwayat al-Thabrani

Diriwayatkan oleh Thabrani dalam kitab al-Mu'jam al Kabir dan al-Ausath pada redaksi hadits yang sangat panjang dari Anas, bahwa ketika Fatimah binti Asad bin Hasyim (Ibu Sayyidina Ali) wafat, maka Rasulullah e turut menggali makam untuknya dan Rasul masuk ke dalam liang lahadnya sembari merebahkan diri di dalam liang tersebut dan beliau berdoa:

أَللهُ الَّذِيْ يُحْيِىْ وَيُمِيْتُ وَهُوَ حَيٌّ لَا يَمُوْتُ اِغْفِرْ لِأُمِّيْ فَاطِمَةَ بِنْتِ أَسَدٍ وَلَقِّنْهَا حُجَّتَهَا وَوَسِّعْ عَلَيْهَا مَدْخَلَهَا بِحَقِّ نَبِيِّكَ وَالْأَنْبِيَاءِ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِيْ فَإِنَّكَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِيْنَ )رواه الطبراني وابو نعيم فى حلية الأولياء عن انس(

“Allah yang menghidupkan dan mematikan. Allah maha hidup, tidak akan mati. Ampunilah ibuku, Fatimah binti Asad, tuntunlah hujjahnya dan lapangkan kuburnya, dengan haq Nabi-Mu dan para Nabi sebelumku. Sesungguhnya Engkau dzat yang paling mengasihi”. (HR al-Thabrani dan Abu Nuaim dari Anas)

Ahli hadits al-Hafidz al-Haitsami mengomentari hadits tersebut:

رَوَاهُ الطَّبْرَانِيُّ فِي الْكَبِيْرِ وَالْاَوْسَطِ وَفِيْهَ رَوْحُ بْنُ صَلاَحٍ وَثَّقَهُ ابْنُ حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ وَفِيْهِ ضُعْفٌ، وَبَقِيَّةُ رِجَالِهِ رِجَالُ الصَّحِيْحِ )مجمع الزوائد ومنبع الفوائد ۹/۲۱۰(

“Diriwayatkan oleh Thabrani dalam kitab al-Mu’jam al-Kabir dan al-Ausath, salah satu perawinya adalah Rauh bin Shalah, ia dinilai terpercaya oleh Ibnu Hibban dan al-Hakim, tetapi ia dlaif, sedangkan yang lain adalah perawi-perawi sahih”. (Majma’ al-Zawaid wa Manba’ al-Fawaid, IX/210)

Sayid Muhammad bin Alawy al-Maliki berkata:

وَاخْتَلَفَ بَعْضُهُمْ فِى رَوْحِ بْنِ صَلاَحٍ اَحَدِ رُوَاتِهِ وَلَكِنَّ ابْنَ حِبَّانَ ذَكَرَهُ فِى الثِّقَاتِ وَقَالَ الْحَاكِمُ ثِقَةٌ مَأْمُوْنٌ وَقَالَ الْهَيْثَمِىُّ فِى مَجْمَعِ الزَّوَائِدِ وَرِجَالُهُ رِجَالُ الصَّحِيْحِ. وَرَوَاهُ كَذَلِكَ ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَابْنُ اَبِي شَيْبَةَ عَنْ جَابِرٍ وَاَخْرَجَهُ الدَّيْلَمِيُّ وَاَبُوْ نُعَيْمٍ فَطُرُقُهُ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا بِقُوَّةٍ وَتَحْقِيْقٍ . قَالَ الشَّيْخُ الْحَافِظُ الْغُمَّارِى فِى اتِّحَافِ اْلاَذْكِيَاءِ ص ۲۰، وَرَوْحٌ هٰذَا ضُعْفُهُ خَفِيْفٌ عِنْدَ مَنْ ضَعَّفَهُ كَمَا يُسْتَفَادُ مِنْ عِبَارَاتِهِمْ وَلِهَذَا عَبَّرً الْهَيْثَمِى بِمَا يُفِيْدُ خِفَّةَ الضُّعْفِ كَمَا لاَ يَخْفَى عَلَى مَنْ مَارَسَ كُتُبَ الْفَنِّ فَالْحَدِيْثُ لاَ يَقِلُّ عَنْ رُتْبَةِ الْحَسَنِ بَلْ عَلَى شَرْطِ ابْنِ حِبَّانَ )كلمة فى التوسل ۱۱(

“Sebagian ulama berbeda pendapat mengenai salah satu perawinya, Rauh bin Shalah, namun Ibnu Hibban menggolongkannya sebagai orang-orang terpercaya dalam kitab al-Tsiqat, dan al-Hakim berkata: “Ia terpercaya dan amanah. Al-Haitsami berkata dalam Majma’ al-Zawaid: “Perawinya adalah perawi-perawi sahih. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Abdi al-Barr dari Ibnu Abbas, Ibnu Abi Syaibah dari Jabir, dan ditakhrij oleh al-Dailami dan Abu Nuaim. Maka, jalur-jalur riwayat hadis ini saling menguatkan antara satu dan lainnya. Al-Hafidz al-Ghummari berkata dalam Ittihaf al-Adzkiya' hal. 20: “Perawi Rauh ini tingkat kedlaifannya rendah bagi ulama yang menilainya dlaif, hal ini diketahui dari redaksi penilaian mereka tentang Rauh. Oleh karena-nya, al-Haitsami menilai dengan redaksi yang ringan (فيه ضعف) sebagaimana diketahui oleh orang-orang yang mempelajari ilmu ini (al-Jarh wa al-Ta'dil). Dengan demikian, hadis ini tidak kurang dari status hadis Hasan bahkan sesuai kriteria kesahihan Ibnu Hibban”. (Kalimat fi al-Tawassul, 20)

b.      Riwayat Ibnu Hibban

عَلَّمَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيْقَ t أَنْ يَقُوْلَ اللّٰهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ بِمُحَمَّدٍ نَبِيِّكَ وَإِبْرَاهِيْمَ خَلِيْلِكَ وَمُوْسٰى نَجِيِّكَ وَعِيْسٰى كَلِمَتِكَ وَرُوْحِكَ وَبِتَوْرَاةِ مُوْسٰى وَإِنْجِيْلِ عِيْسٰى وَزَبُوْرِ دَاوُدَ وَفُرْقَانِ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم وَعَلَيْهِمْ أَجْمَعِيْنَ ..... الْحَدِيْثَ
“Rasulullah e mengajarkan doa kepada Abu Bakar al-Shiddiq: Ya Allah. Saya meminta kepada-Mu dengan Muhammad Nabi-Mu, Ibrahim kekasih-Mu, Musa yang Engkau selamatkan, Isa kalimat dan yang Engkau tiupkan ruh-Mu, dan dengan Taurat Musa, Injil Isa, Zabur Dawud dan al-Quran Muhammad. Semoga Allah memberi shalawat dan salam kepada semuanya….”.

Hadits ini dikutip oleh Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya', dan al-Hafidz Zainuddin al-Iraqi mengo-mentari status hadis di atas:

فِي الدُّعَاءِ لِحِفْظِ الْقُرْآنِ رَوَاهُ أَبُوْ الشَّيْخِ ابْنُ حِبَّانَ فِي كِتَابِ الثَّوَابِ مِنْ رِوَايَةِ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ هَارُوْنَ بْنِ عَبْثَرَةَ عَنْ أَبِيْهِ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ أَتَى النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ إِنِّيْ أَتَعَلَّمُ الْقُرْآنَ وَيَنْفَلِتُ مِنِّيْ فَذَكَرَهُ وَعَبْدُ الْمَلِكِ وَأَبُوْهُ ضَعِيْفَانِ وَهُوَ مُنْقَطِعٌ بَيْنَ هَارُوْنَ وَأَبِيْ    بَكْرٍ   )تخريج   أحاديث الإحياء ۳/۳۹(

“Hadits tersebut adalah doa untuk menghafal Al Quran, diriwayatkan oleh Abu Syaikh Ibnu Hibban dalam kitab al-Tsawab dari Abdul Malik bin Harun bin ‘Abtsarah, dari bapaknya bahwa Abu Bakar datang kepada Nabi untuk mempelajari Al Quran…. Abdul Malik dan bapaknya adalah dlaif, dan hadis ini terputus antara Harun dan Abu Bakar" (Takhrij Ahadits al-Ihya’, III/39)

Kendatipun hadits ini dla’if, namun tetap diperbolehkan untuk diamalkan. Sebab beberapa hadits sahih menjelaskan tentang tawassul, sehingga hadis ini masuk ke dalam koridor tersebut. Karena diantara syarat mengamalkan hadits dla’if adalah tidak bertentangan dengan dalil Al Quran maupun hadits sahih, sebagaimana telah diketahui dalam ilmu hadis.

Dengan demikian, bertawassul dengan orang yang telah wafat diperbolehkan, karena Rasulullah e dalam dua hadits di atas bertawassul dengan para nabi sebelum beliau yang kesemuanya telah wafat kecuali Nabi Isa u.

Rasulullah Mengajarkan Tawassul

Ternyata tawassul tidak hanya diperbolehkan saja, namun pernah diajarkan oleh Rasulullah yang berarti menunjukkan makna sunnah. Hal ini dapat dilihat dalam hadits berikut ini:

عَنْ عُثْمَانَ بْنِ حُنَيْفٍ t أَنَّ رَجُلاً ضَرِيْرَ الْبَصَرِ أَتَى النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ عَلِّمْنِيْ دُعَاءً أَدْعُوْ بِهِ يَرُدُّ اللهُ عَلَيَّ بَصَرِيْ، فَقَالَ لَهُ قُلِ اللّٰهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ يَا مُحَمَّدُ إِنِّيْ قَدْ تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلٰى رَبِّيْ أَللّٰهُمَّ شَفِّعْهُ فِيَّ وَشَفِّعْنِيْ فِيْ نَفْسِيْ فَدَعَا بِهٰذَا الدُّعَاءِ فَقَامَ وَقَدْ أَبْصَرَ

“Dari Utsman bin Hunaif: “Suatu hari seorang yang buta datang kepada Rasulullah e berkata: “Wahai Rasulullah, ajarkan saya sebuah doa yang akan saya baca agar Allah mengembalikan penglihatan saya”. Rasulullah berkata: “Bacalah doa (artinya): “Ya Allah sesungguhnya aku meminta-Mu dan menghadap kepada-Mu melalui Nabi-Mu yang penuh kasih sayang, wahai Muhammad sesungguhnya aku menghadap kepadamu dan minta Tuhanmu melaluimu agar dibukakan mataku, Ya Allah berilah ia syafaat untukku dan berilah aku syafaat. Kemudian ia berdoa dengan doa tersebut, ia berdiri dan telah bisa melihat”. (HR. Hakim dalam al-Mustadrak).

Beliau mengatakan bahwa hadits ini adalah shahih dari segi sanad walaupun Imam Bukhari dan Imam Muslim tidak meriwayatkan dalam kitabnya. Imam Dzahabi mengatakatan bahwa hadits ini adalah shahih, demikian juga Imam Turmudzi dalam kitab Sunannya bab Daa'wat mengatakan bahwa hadits ini adalah hasan shahih gharib.

Dalam riwayat Turmudzi disebutkan bahwa Utsman berkata: “Demi Allah kami belum lagi bubar dan belum juga lama pembicaraan kami, orang itu telah datang kembali dengan segar bugar”.

Dan Imam Mundziri dalam kitabnya at-Targhib Wa at-Tarhib, 1/438, mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Imam Nasai, Ibnu Majah dan Imam Khuzaimah dalam kitab shahihnya).

Ada dua hal yang dapat diambil kesimpulan dari hadits ini, bahwa:

1.      Doa tersebut memang benar-benar dibaca oleh orang yang buta, bukan didoakan oleh Rasulullah e. Sementara Nasiruddin al-Albani (ulama Wahhabi) berpendapat bahwa orang buta tadi sembuh karena didoakan oleh Rasulullah. Pendapat ini sama sekali tidak ada dasarnya dan bertentangan dengan riwayat al-Hakim diatas. Hal ini dikarenakan setelah al-Albani tidak mampu melemahkan hadits ini secara sanad, lantas al-Albani dan kelompoknya berupaya untuk mengaburkan makna teks hadits tersebut dengan menyatakan bahwa doa itu dibacakan oleh Rasulullah. Hali itu dilakukan karena ia telah terlanjur melarang tawassul, sehingga ia memalingkan makna hadits di atas dengan berdasarkan nafsunya.

2.      Rasulullah mengajarkan doa bertawassul dengan menyebut nama beliau di atas tidak hanya berlaku bagi orang buta tersebut dan di masa Rasul hidup saja, sebab Rasulullah tidak membatasinya. Dan seandainya tawassul setelah Rasulullah wafat dilarang, maka sudah pasti Rasulullah akan melarangnya dan menyatakan bahwa doa ini hanya boleh dibaca oleh orang buta tersebut ketika Rasul masih hidup, sebagaimana dalam masalah penyembelihan hewan qurban yang hanya dikhususkan kepada Abu Burdah saja, yaitu sabda Rasulullah :

ضَحِّ بِالْجَذَعِ مِنَ الْمَعْزِ وَلَنْ تَجْزِئَ عَنْ أَحَدٍ بَعْدَكَ )رواه البخارى ومسلم عن أبى سعيد الخذرى(

“Sembelihlah kambing usia satu tahun itu, dan hal itu tidak berlaku lagi bagi orang lain selain kamu”. (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abi Sa'id al-Khudri)

Shahabat Mengajarkan Tawassul

1.      Utsman bin Hunaif

عَنْ عُثْمَانَ بْنِ حُنَيْفٍ t أَنَّ رَجُلاً كَانَ يَخْتَلِفُ إِلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ t فِيْ حَاجَتِهِ وَكَانَ عُثْمَانُ لَا يَلْتَفِتُ إِلَيْهِ وَلَا يَنْظُرُ فِيْ حَاجَتِهِ فَلَقِيَ ابْنَ حُنَيْفٍ فَشَكَا ذَلِكَ إِلَيْهِ فَقَالَ لَهُ عُثْمَانُ بْنُ حُنَيْفٍ ائْتِ الْمِيْضَأَةَ فَتَوَضَّأْ ثُمَّ ائْتِ الْمَسْجِدَ فَصَلِّ فِيْهِ رَكْعَتَيْنِ اللّٰهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا نَبِيِّ الرَّحْمَةِ يَا مُحَمَّدُ إِنِّيْ أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّكَ فَيَقْضِيْ لِيْ حَاجَتِيْ وَتَذْكُرُ حَاجَتَكَ حَتَّى أَرْوَحَ مَعَكَ، فَانْطَلَقَ الرَّجُلُ فَصَنَعَ مَا قَالَ لَهُ ثُمَّ أَتَى بَابَ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ t فَجَاءَهُ الْبَوَّابُ حَتَّى أَخَذَ بِيَدِهِ فَأَدْخَلَهُ عَلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ فَأَجْلَسَهُ مَعَهُ عَلَى الطِّنْفِسَةِ فَقَالَ حَاجَتُكَ فَذَكَرَ حَاجَتَهُ وَقَضَاهَا لَهُ )رواه الطبرانى فى المعجم الكبير والبيهقى في دلائل النبوة(

“Diriwayatkan dari Utsman bin Hunaif (perawi hadis yang menyaksikan orang buta bertawassul kepada Rasulullah) bahwa ada seorang laki-laki datang kepada (Khalifah) Utsman bin Affan untuk memenuhi hajatnya, namun sayidina Utsman tidak menoleh ke arahnya dan tidak memperhatikan kebutuhannya. Kemudian ia bertemu dengan Utsman bin Hunaif (perawi) dan mengadu kepadanya. Utsman bin Hunaif berkata: Ambillah air wudlu' kemudian masuklah ke masjid, salatlah dua rakaat dan bacalah: “Ya Allah sesungguhnya aku meminta-Mu dan menghadap kepada-Mu melalui nabi-Mu yang penuh kasih sayang, wahai Muhammad sesungguhnya aku menghadap kepadamu dan minta Tuhanmu melaluimu agar hajatku dikabukan. Sebutlah apa kebutuhanmu”. Lalu lelaki tadi melakukan apa yang dikatakan oleh Utsman bin Hunaif dan ia memasuki pintu (Khalifah) Utsman bin Affan. Maka para penjaga memegang tangannya dan dibawa masuk ke hadapan Utsman bin Affan dan diletakkan di tempat duduk. Utsman bin Affan berkata: Apa hajatmu? Lelaki tersebut menyampaikan hajatnya, dan Utsman bin Affan memutuskan permasalahannya”. (HR. Al-Thabrani dalam al-Mu'jam al-Kabir dan al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwwah)

Ulama Ahli hadits al-Hafidz al-Haitsami berkata:

وَقَدْ قَالَ الطَّبْرَانِيُّ عَقِبَهُ وَالْحَدِيْثُ صَحِيْحٌ بَعْدَ ذِكْرِ طُرُقِهِ الَّتِيْ رَوٰى بِهَا )مجمع الزوائد ومنبع الفوائد ۲/۵۶۵(

“Dan sungguh al-Thabrani berkata (setelah al-Thabrani menyebut semua jalur riwayatnya): Riwayat ini sahih”. (Majma’ al-Zawaid, II/565)

Perawi hadits ini, Utsman bin Hunaif, telah mengajarkan tawassul kepada orang lain setelah Rasulullah e wafat. Dan kalaulah tawassul kepada Rasulullah dilarang atau bahkan dihukumi syirik maka tidak mungkin seorang sahabat akan mengajarkan hal-hal yang menyimpang dari ajaran Rasulullah e, karena ia hidup di kurun waktu terbaik, yaitu sebagai sahabat Nabi.

Sayid Muhammad bin Alawi al-Maliki berkata:

هَذِهِ الْقِصَّةُ صَحَّحَهَا الْحَافِظُ الطَّبْرَانِيُّ وَالْحَافِظُ اَبُوْ عَبْدِ اللهِ الْمَقْدِسِيِّ وَنَقَلَ ذَلِكَ التَّصْحِيْحَ الْحَافِظُ الْمُنْذِرِيُّ وَالْحَافِظُ نُوْرُ الدِّيْنِ الْهَيْثَمِيُّ )كلمة فى التوسل ۷(

“Kisah ini disahihkan oleh al-Hafidz al-Thabrani dan al-Hafidz Abu Abdillah al-Maqdisi, dikutip oleh al-Hafidz al-Mundziri dan al-Hafidz Nuruddin al-Haitsami”. (Kalimat fi al-Tawassul, 7)

Ibnu Taimiyah mengutip doa tawassul seperti diatas dan ia mengatakan bahwa ulama salaf membacanya, yaitu:

رَوَى ابْنُ أَبِي الدُّنْيَا فِيْ كِتَابِ مُجَابِي الدُّعَاءِ قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُوْ هَاشِمٍ سَمِعْتُ كَثِيْرَ بْنَ مُحَمَّدِ بْنِ كَثِيْرِ بْنِ رِفَاعَةَ يَقُوْلُ جَاءَ رَجُلٌ إلَى عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ سَعِيْدِ بْنِ أَبْجَرَ فَجَسَّ بَطْنَهُ فَقَالَ بِكَ دَاءٌ لَا يَبْرَأُ. قَالَ مَا هُوَ؟ قَالَ الدُّبَيْلَةُ. قَالَ فَتَحَوَّلَ الرَّجُلُ فَقَالَ اللهَ اللهَ اللهَ رَبِّيْ لَا أُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا اللّٰهُمَّ إنِّيْ أَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ صلى الله عليه وسلم تَسْلِيْمًا يَا مُحَمَّدُ إنِّيْ أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّكَ وَرَبِّيْ يَرْحَمُنِيْ مِمَّا بِيْ. قَالَ فَجَسَّ بَطْنَهُ فَقَالَ قَدْ بَرِئَتْ مَا بِكَ عِلَّةٌ. قُلْتُ فَهَذَا الدُّعَاءُ وَنَحْوُهُ قَدْ رُوِيَ أَنَّهُ دَعَا بِهِ السَّلَفُ وَنُقِلَ عَنْ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ فِيْ مَنْسَكِ الْمَرْوَذِيِّ التَّوَسُّلُ بِالنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فِي الدُّعَاءِ وَنَهَى عَنْهُ آخَرُوْنَ )مجموع الفتاوى ۱/۲۶۴ وقاعدة جليلة في التوسل والوسيلة ۲/۱۹۹(

“Ibnu Abi al-Dunya meriwayatkan dari Katsir bin Muhammad, Ada seorang laki-laki datang ke Abdul Malik bin Said bin Abjar. Abdul Malik memegang perutnya dan berkata: “Kamu mengidap penyakit yang tidak bisa disembuhkan”. Lelaki itu bertanya: “Penyakit apa?” Ia menjawab: “Penyakit dubailah (semacam tumor dalam perut)”. Kemudian laki-laki tersebut berpaling dan berdoa: “Allah Allah Allah.. Tuhanku, tiada suatu apapun yang yang menyekutuinya. Ya Allah, saya menghadap kepadaMu dengan nabiMu Muhammad Nabi yang rahmah Saw. Wahai Muhammad saya menghadap pada Tuhanmu denganmu (agar) Tuhanku menyembuhkan penyakitku”. Lalu Abdul Malik memegang lagi perutnya dan ia berkata: “Penyakitmu telah sembuh”. Saya (Ibnu Taimiyah) berkata: “Doa semacam ini diriwayatkan telah dibaca oleh ulama salaf, dan diriwayatkan dari Ahmad bin Hanbal dalam al-Mansak al-Marwadzi bahwa beliau bertawassul dengan Rasulullah dalam doanya. Namun ulama yang lain melarang tawassul”. (Majmu' al-Fatawa, I/264, dan al-Tawassul wa al-Wasilah, II/199)

2.      Bilal bin Haris al-Muzani

وَرَوَى اِبْنُ أَبِيْ شَيْبَةَ بِإِسْنَادٍ صَحِيْحٍ مِنْ رِوَايَةِ أَبِيْ صَالِحٍ السَّمَّانِ عَنْ مَالِك الدَّارِيِّ - وَكَانَ خَازِنَ عُمَرَ - قَالَ أَصَابَ النَّاسَ قَحْطٌ فِيْ زَمَنِ عُمَرَ فَجَاءَ رَجُلٌ إِلَى قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ اِسْتَسْقِ لِأُمَّتِكَ فَإِنَّهُمْ قَدْ هَلَكُوْا فَأَتَى الرَّجُلَ فِيْ الْمَنَامِ فَقِيْلَ لَهُ اِئْتِ عُمَرَ ... الْحَدِيْثَ. وَقَدْ رَوَى سَيْفٌ فِي الْفُتُوْحِ أَنَّ الَّذِيْ رَأَى الْمَنَامَ الْمَذْكُورَ هُوَ بِلَالُ بْنُ الْحَارِثِ الْمُزَنِيُّ أَحَدُ الصَّحَابَةِ )ابن حجر فتح الباري ۳/۴۴۱ وابن عساكر تاريخ دمشق ۵۶/۴۸۹(

“Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan hadis dengan sanad yang sahih dari Abi Shaleh Samman, dari Malik al-Dari (Bendahara Umar), ia berkata: Telah terjadi musim kemarau di masa Umar, kemudia ada seorang laki-laki (Bilal bin Haris al-Muzani) ke makam Rasulullah Saw, ia berkata: Ya Rasullah, mintakanlah hujan untuk umatmu, sebab mereka akan binasa. Kemudian Rasulullah datang kepada lelaki tadi dalam mimpinya, beliau berkata: Datangilah Umar…. Saif meriwayatkan dalam kitab al-Futuh lelaki tersebut adalah Bilal bin Haris al-Muzani salah satu Sahabat Rasulullah”. (Ibnu Hajar, Fathul Bari, III/441, dan Ibnu 'Asakir, Tarikh Dimasyqi, 56/489)

Bentuk tawassul dalam riwayat ini adalah seruan memanggil nama Rasulullah dan meminta pertolongan kepada beliau. Sementara menurut al-Albani dan aliran Wahhabi, menyeru kepada orang yang telah meninggal dihukumi syirik. Padahal umat Islam senantiasa berseru kepada Rasulullah e setiap kali melakukan tachiyat dalam salat:

السَّلَامُ عَلَيْك أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ )أخرجه ابن ماجه ۹۰۲ والنسائي ۲/۲۴۳ قال الدارقطني والبيهقي إسناده صحيح(

“Semoga keselamatan, rahmat, dan berkah atas dirimu wahai Nabi. Dan semoga keselamatan atas kami serta para hamba yang salih”. 

3.      Aisyah Istri Rasulullah 
حَدَّثَنَا أَبُوْ النُّعْمَانِ حَدَّثَنَا سَعِيْدُ بْنُ زَيْدٍ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ مَالِكٍ النُّكْرِي حَدَّثَنَا أَوْسُ بْنُ عَبْدِ اللهِ قُحِطَ أَهْلُ الْمَدِيْنَةِ قَحْطاً شَدِيْداً، فَشَكَوْا إِلَى عَائِشَةَ فَقَالَتْ انْظُرُوْا قَبْرَ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم فَاجْعَلُوْا مِنْهُ كِوًى إِلَى السَّمَاءِ حَتَّى لَا يَكُوْنَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ السَّمَاءِ سَقْفٌ. قَالَ فَفَعَلُوْا فَمُطِرْنَا مَطَراً حَتَّى نَبَتَ الْعُشْبُ وَسَمِنَتِ الْإِبِلُ حَتَّى تَفَتَّقَتْ مِنَ الشَّحْمِ فَسُمِّىَ عَامَ الْفَتْقِ )رواه الدارمي(

“Dari Aus bin Abdullah: “Suatu hari kota Madinah mengalami kemarau panjang, lalu datanglah penduduk Madinah ke Aisyah (janda Rasulullah e) mengadu tentang kesulitan tersebut, lalu Aisyah berkata: “Lihatlah kubur Nabi Muhammad e lalu bukalah sehingga tidak ada lagi atap yang menutupinya dan langit terlihat langsung”, lantas mereka pun melakukan itu kemudian turunlah hujan lebat sehingga rumput-rumput tumbuh dan onta pun gemuk, maka disebutlah itu tahun gemuk”. (HR. Imam Darimi)

Kitab Musnad as-Shahabah menjelas-kan status atsar di atas sebagai berikut:

قَالَ الشَّيْخُ حُسَيْنٌ أَسَدٌ رِجَالُهُ ثِقَاتٌ وَهُوَ   مَوْقُوْفٌ  عَلَى  عَائِشَةَ  )مسند الصحابة في الكتب التسعة ۱۳/۷۶(

“Syaikh Husain berkata: “Perawinya adalah orang-orang terpercaya”. Riwayat tersebut bersumber dari Aisyah”. (Musnad al-Shahabat, XIII/76)

Sayid Muhammad bin Alawy mentakhrij riwayat diatas:

اَمَّا اَبُوْ النُّعْمَانِ فَهُوَ مُحَمَّدُ بْنُ الْفَضْلِ الْمُلَقَّبُ بِعَارِمٍ شَيْخُ الْبُخَارِيِّ، قَالَ الْحَافِظُ فِى التَّقْرِيْبِ ثِقَةٌ ثَبْتٌ تَغَيَّرَ فِىْ اَخِرِ عُمْرِهِ وَهَذَا لَا يَضُرُّهُ وَلَا يَقْدَحُ فِىْ رِوَايَتِهِ لِاَنَّ الْبُخَارِيَ رَوٰى لَهُ فِى صَحِيْحِهِ اَكْثَرَ مِنْ مِائَةِ حَدِيْثٍ. وَاَمَّا سَعِيْدُ بْنُ زَيْدٍ فَهُوَ صَدُوْقٌ لَهُ اَوْهَامٌ وَكَذٰلِكَ حَالُ عَمْرِو بْنِ مَالِكٍ النُّكْرِيِّ كَمَا قَالَ الْحَافِظُ ابْنُ حَجَرٍ عَنْهُمَا فِى التَّقْرِيْبِ وَقَدْ قَرَّرَ الْعُلَمَاءُ بِأَنَّ هٰذِهِ الصِّيْغَةَ وَهِيَ صَدُوْقٌ يُهِمُّ مِنْ صِيَغِ التَّوْثِيْقِ لَا مِنْ صِيَغِ التَّضْعِيْفِ كَمَا فِى تَدْرِيْبِ الرَّاوِي. وَاَمَّا اَبُوْ الْجَوْزَاءِ فَهُوَ اَوْسُ بْنُ عَبْدِ اللهِ الرِّبْعِيِّ وَهُوَ ثِقَةٌ مِنْ رِجَالِ الصَّحِيْحَيْنِ. فَهُوَ سَنَدٌ لَا بَأْسَ بِهِ بَلْ هُوَ جَيِّدٌ عِنْدِيْ )كلمة فى التوسل ۱۳(

“Abu Nu’man adalah Muhammad bin Fadl yang bergelar Arim adalah guru al-Bukhari, al-Hafidz Ibnu Hajar menilainya dalam kitab Taqrib sebagai orang terpercaya dan kokoh namun ada perubahan dalam akhir umurnya. Tetapi hal ini tidak mempengaruhi riwayatnya karena al-Bukhari telah mengutip dalam kitab Sahihnya lebih dari 100 hadis. Adapun Said bin Zaid dan Amr bin Malik al-Nukri dinilai oleh al-Hafidz Ibnu Hajar menilainya dalam kitab Taqrib sebagai orang yang sangat jujur namun memiliki praduga-praduga. Redaksi seperti ini adalah bentuk penilaian positif bukan penilaian melemahkan, sebagaimana dalam kitab Tadrib al-Rawi (Jalaluddin al-Suyuthi). Sedangkan Abu al-Jauza’ adalah Aus bin Abdillah al-Rib’i, ia adalah orang terpercaya dan perawi hadis al-Bukhari dan Muslim. Dengan demikian, sanad riwayat ini tidak lemah justru sanad yang bagus bagi saya”. (Kalimat fi al-Tawassul, 13)

Tawassul Kepada Rasulullah e Sebelum Lahir

Imam Hakim an-Naisabur meriwayatkan dari Umar berkata, bahwa Nabi bersabda:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم لَمَّا اقْتَرَفَ آدَمُ الْخَطِيْئَةَ قَالَ يَا رَبِّىْ إِنِّىْ أَسْأَلُكَ بِحَقِّ مُحَمَّدٍ لِمَا غَفَرْتَ لِىْ، فَقَالَ اللهُ: يَا آدَمُ كَيْفَ عَرَفْتَ مُحَمَّدًا وَلَمْ أَخْلُقْهُ؟ قَالَ: يَا رَبِّى لِأَنَّكَ لَمَّا خَلَقْتَنِىْ بِيَدِكَ وَنَفَخْتَ فِيَّ مِنْ رُوْحِكَ رَفَعْتُ رَأْسِىْ فَرَأَيْتُ عَلَى قَوَائِمِ الْعَرْشِ مَكْتُوْبًا لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ فَعَلِمْتُ أَنَّكَ لَمْ تُضِفْ إِلَى اسْمِكَ إِلَّا أَحَبَّ الْخَلْقِ إِلَيْكَ، فَقَالَ اللهُ: صَدَقْتَ يَا آدَمُ إِنَّهُ لَأَحَبُّ الْخَلْقِ إِلَيَّ اُدْعُنِى بِحَقِّهِ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكَ وَلَوْلَا مُحَمَّدٌ مَا خَلَقْتُكَ (أخرجه الحاكم فى المستدرك وصححه ۲/۶۱۵)

“Rasulullah e bersabda: “Ketika Adam melakukan kesalahan, lalu ia berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku memintaMu melalui Muhammad agar Kau ampuni diriku”. Lalu Allah berfirman: “Wahai Adam, darimana engkau tahu Muhammad padahal belum Aku ciptakan?” Adam menjawab: “Wahai Tuhanku, ketika Engkau ciptakan diriku dengan kekuasaan-Mu dan Engkau hembuskan ke dalamku sebagian dari ruh-Mu, maka aku angkat kepalaku dan aku melihat di atas tiang-tiang Arash tertulis kalimat “Laa ilaaha illallaah muhamadur rasulullah” maka aku mengerti bahwa Engkau tidak akan mencantumkan sesuatu dengan nama-Mu kecuali nama mahluk yang paling Engkau cintai”. Allah menjawab: “Benar Adam, sesungguhnya ia adalah mahluk yang paling Aku cintai, bredoalah dengan melaluinya maka Aku telah mengampunimu, dan andaikan tidak ada Muhammad maka tidaklah Aku menciptakanmu”. (HR. Hakim dan ia berkata bahwa hadits ini adalah shahih dari segi sanadnya)

Demikian juga pernyataan Imam Baihaqi dalam kitabnya Dalail An-Nubuwwah, Imam al-Qasthalany dalam kitabnya Al-Mawahib, 2/392, Imam Zarqani dalam kitab Syarkhu Al-Mawahib Laduniyyah, 1/62, Imam Subuki dalam kitabnya Shifa As-Saqam, dan Imam Suyuti dalam kitabnya Khasais An-Nubuwah, mereka semua mengatakan bahwa hadits ini adalah shahih.

Tawassul Kepada Rasulullah Sebelum Menjadi Rasul

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Hakim dari sahabat Ibnu Abbas dinyatakan:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ كَانَتْ يَهُوْدُ خَيْبَرَ تُقَاتِلُ غَطَفَانَ فَكُلَّمَا الْتَقَوْا هَزَمَتْ يَهُوْدُ خَيْبَرَ فَعَاذَتِ الْيَهُوْدُ بِهٰذَا الدُّعَاءِ اللّٰهُمَّ إِنَا نَسْأَلُكَ بِحَقِّ مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ الَّذِيْ وَعَدْتَنَا أَنْ تُخْرِجَهُ لَنَا فِيْ آخِرِ الزَّمَانِ أَلَّا نَصَرْتَنَا عَلَيْهِمْ، قَالَ: فَكَانُوْا إِذَا الْتَقَوْا دَعَوْا بِهٰذَا الدُّعَاءِ فَهَزَمُوْا غَطَفَانَ فَلَمَّا بُعِثَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم كَفَرُوْا بِهِ فَأَنْزَلَ اللهُ وَقَدْ كَانُوْا يَسْتَفْتِحُوْنَ بِكَ يَا مُحَمَّدُ عَلَى الْكَافِرِيْنَ )رواه الحاكم وقال وهو غريب(

“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Yahudi Khaibar berperang dengan Kabilah Ghathafan. Setiap bertemu dalam peperang-an, orang Yahudi selalu lari dan meminta pertolongan dengan berdoa: “Kami meminta kepada-Mu dengan Haq (kedudukan) Muhammad seorang Nabi yang Ummi, yang Engkau janjikan kepada kami untuk diutus di akhir zaman, hendaklah Engkau menolong kami”. Maka setiap berperang, Yahudi Khaibar selalu berdoa dengan doa ini sehingga berhasil memukul mundur pasukan Ghathafan. Dan ketika Rasulullah diutus, mereka kufur terhadapnya. Kemudian Allah menurunkan ayat 89 surat al-Baqarah tersebut”. (HR. Hakim, dia mengatakan hadits ini asing)
Kendatipun al-Hakim menyebutkan bahwa riwayat ini adalah ghorib (asing) yang tergolong hadis perorangan (الأحد), namun banyak ahli tafsir yang menjadikannya sebagai asbab al-nuzul (sebab turun) dari ayat di atas seperti al-Razi dalam tafsir kabir Mafatih al-Ghaib, al-Zamakhsyari dalam al-Kasyaf dan sebagainya. Bahkan Abu Abdurrahman Muqbil, setelah mengutip riwayat ini dari Ibnu Ishaq dan Ibnu Hisyam, berkata:

وَهُوَ حَدِيْثٌ حَسَنٌ فَإِنَّ ابْنَ إِسْحَاقَ إِذَا صَرَّحَ بِالتَّحْدِيْثِ فَحَدِيْثُهُ حَسَنٌ كَمَا ذَكَرَهُ الْحَافِظُ الذَّهَبِيُّ فِي الْمِيْزَانِ.

“Hadits ini adalah hadits Hasan. Sebab apabila Ibnu Ishaq menjelaskan tentang hadits, maka haditsnya berstatus Hasan, sebagaimana disebutkan oleh al-Hafidz al-Dzahabi dalam kitab al-Mizan”. (Al-Shahih al-Musnad min Asbab al-Nuzul, I/22)

Berikut ini adalah pernyataan al-Razi dan Zamakhsyari tentang ayat di atas:

أَمَّا قَوْلُهُ تَعَالٰى (وَكَانُواْ مِن قَبْلُ يَسْتَفْتِحُوْنَ عَلَى الَّذِيْنَ كَفَرُوْا) فَفِي سَبَبِ النُّزُوْلِ وُجُوْهٌ أَحَدُهَا أَنَّ الْيَهُوْدَ مِنْ قَبْلِ مَبْعَثِ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم وَنُزُوْلِ الْقُرْآنِ كَانُوْا يَسْتَفْتِحُوْنَ أَيْ يَسْأَلُوْنَ الْفَتْحَ وَالنُّصْرَةَ وَكَانُوْا يَقُوْلُوْنَ اللّٰهُمَّ افْتَحْ عَلَيْنَا وَانْصُرْنَا بِالنَّبِيِّ الْأُمِّيِّ )تفسير الرازي مفاتيح الغيب ۳/۱۶۴(

“Sebab turunnya ayat ini (al-Baqarah 89) ada banyak versi, salah satunya bahwa Yahudi sebelum diutusnya Nabi Muhammad dan turunnya Al Quran, senantiasa meminta kemenangan dan pertolongan. Mereka berkata: “Ya Allah. Berilah kami kemenangan dan pertolongan dengan Nabi yang Ummi (Muhammad)”. (Tafsir al-Razi, III/164)

(يَسْتَفْتِحُونَ عَلَى الَّذِينَ كَفَرُوْا) يَسْتَنْصِرُوْنَ عَلَى الْمُشْرِكِيْنَ إِذَا قَاتَلُوْهُمْ قَالُوْا اللّٰهُمَّ انْصُرْنَا بِالنَّبِيِّ الْمَبْعُوْثِ فِيْ آخِرِ الزَّمَانِ الَّذِيْ نَجِدُ نَعْتَهُ وَصِفَتَهُ فِي التَّوْرَاةِ )تفسير الكشاف للزمخشري ۱/۱۶۴(

“Yahudi meminta pertolongan dalam menghadapi kaum musyrikin. Saat berperang Yahudi berdoa: “Ya Allah. Tolonglah kami dengan seorang Nabi yang akan diutus di akhir zaman yang telah kami temukan ciri-ciri dan sifatnya dalam Taurat”. (Tafsir al-Kasyaf, I/164)


Tawassul Kepada Rasulullah  Setelah Wafat

Walaupun Rasulullah e wafat, umat Islam meyakini bahwa Rasulullah tetap bisa mendoakan kepada umatnya. Sebagaimana diterangkan dalam sebuah hadits:

قَالَ صلى الله عليه وسلم حَيَاتِي خَيْرٌ وَمَمَاتِيْ خَيْرٌ لَكُمْ فَإِذَا أَنَا مُتُّ كَانَتْ وَفَاتِيْ خَيْرًا لَكُمْ تُعْرَضُ عَلَيَّ أَعْمَالُكُمْ فَإِنْ رَأَيْتُ خَيْرًا حَمِدْتُ اللهَ تَعَالٰى وَإِنْ رَأَيْتُ شَرًّا اِسْتَغْفَرْتُ لَكُمْ )رواه ابن سعد عن بكر بن عبد الله مرسلا(
“Hidupku lebih baik dan matiku juga lebih baik bagi kalian. Jika aku wafat maka kematianku lebih baik bagi kalian. Amal-amal kalian diperlihatkan kepadaku. Jika aku melihat amal baik, maka aku memuji kepada Allah. Dan jika aku melihat aml buruk, maka aku mintakan ampunan bagimu kepada Allah”. (HR. Ibnu Sa’d dari Bakar bin Abdullah secara mursal)

Terkait penilaian hadits ini al-Munawi berkata:

وَرَوَاهُ الْبَزَّارُ مِنْ حَدِيْثِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ الْهَيْثَمِي وَرِجَالُهُ رِجَالُ الصَّحِيْحِ )فيض القدير شرح الجامع الصغير ۳/۵۳۲(
“Hadits ini juga diriwayatkan oleh al-Bazzar dari Ibnu Mas’ud. Al-Haitsami berkata: “Perawinya adalah perawi-perawi yang sahih”. (Faidl al-Qadir Syarah al-Jami’ al-Shaghir, III/532)

Oleh karena itu, banyak para sahabat yang mengajarkan tawassul kepada Rasulullah e setelah beliau wafat, seperti Utsman bin Hunaif, Bilal bin Haris al-Muzani, Aisyah dan lain-lain. Bahkan penjelasan bahwa orang-orang tertentu (masih hidup) meskipun telah wafat, dijelaskan langsung oleh Allah dalam al-Quran:

وَلَا تَقُوْلُواْ لِمَنْ يُقْتَلُ فِيْ سَبيْلِ اللهِ أَمْوَاتٌ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَكِنْ لَّا تَشْعُرُوْنَ )البقرة: ۱۵۴(

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya”. (Al-Baqarah:154)

وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ قُتِلُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِندَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُوْنَ ﴿أل عمران ۱۶۹﴾

“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki”. (Ali Imran 169)

Rasulullah  Sebagai Wasilah

Kisah ini berdasarkan riwayat hadits yang sangat panjang. Ringkasnya, ada seorang paranormal bernama Sawad bin Qarib, selama beberapa malam ia bermimpi masuk agama Islam, yang pada akhirnya ia datang ke Rasulullah e dan melantunkan beberapa syair yang diantaranya adalah sebagai berikut:

فَأَشْهَدُ أَنَّ اللهَ لَا رَبَّ غَيْرَهُ   % وَأَنَّكَ مَأْمُوْنٌ عَلَى كُلِّ غَالِبٍ
وَأَنَّكَ أَدْنَى الْمُرْسَلِيْنَ وَسِيْلَةً  %إِلَى اللهِ يَا ابْنَ الْأَكْرَمِيْنَ الْأَطَائِبِ
وَكُنْ لِيْ شَفِيْعًا يَوْمَ لَا ذُوْ شَفَاعَةٍ % سِوَاكَ بِمُغْنٍ عَنْ سَوَادِ بْنِ قَارِبٍ

“Maka, aku bersaksi bahwa Allah, tiada tuhan selain Ia. Dan sesungguhnya engkau orang terpercaya atas segala kemenangan. Dan seseungguhnya engkau (Muhammad) adalah wasilah yang terdekat kepada Allah. Wahai putra orang-orang mulia nan baik. Jadilah engkau sebagai penolong bagiku saat tiada yang dapat memiliki pertolongan. Selain engkau tiada dibutuhkan oleh Sawad bin Qarib”.

فَفَرِحَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَأَصْحَابُهُ بِإِسْلَامِيْ فَرْحًا شَدِيْدًا حَتَّى رُئِيَ فِي وُجُوْهِهِمْ، قَالَ: فَوَثَبَ عُمَرُ فَالْتَزَمَهُ وَقَالَ قَدْ كُنْتُ أُحِبُّ أَنْ أَسْمَعَ هَذَا مِنْكَ

“Sawad bin Qarib berkata: “Rasulullah dan para sahabat sangat senang dengan keislaman saya. Kemudian Umar melompat dan merangkulnya. Umar berkata: “Sungguh aku senang mendengar ini darimu”.

Kisah di atas dikutip dalam Tafsir Ibnu Katsir (7/299)/(4/168 Isa al-Halabi Mesir), al-Mustadrak (15/227), al-Kabir Thabrani/ Ahadits Thiwal (1/75), Dalail Nubuwah li al-Baihaqi (1/132), Dalail Nubuwah Abu Nuaim (1/74), Funun Ajaib Abi Said Naqqasy (1/84), Sirah Nabawiyah Ibnu Katsir (1/346), Mu’jam Abi Ya’la Al Mushili (1/348), Uyunul Atsar Ibn Sayydinnas (1/102), Subulul Huda War Rasyad Shalihi Syami (2/209), Al Wafi bil Wafiyat Abu Fayyadl (5/175), Al Isti’ab fi Ma’rifat Ashhab (1/104), Tafsir Adlwa’ al Bayan Al Hafidz Zuhair bin Harb Nasa’i/Ta’liq Al Albani (3/445) Tafsir Nukat Wa Uyun (4/336).

Rasulullah dan para sahabat tidak mengingkari bahwa Rasulullah adalah wasilah yang paling utama. Kalau hal ini salah maka sudah pasti Rasulullah dan para sahabat akan mengatakan salah. Sehingga hadits ini disebut taqrir (ketetapan) karena disetujui dan diakui oleh Rasulullah sendiri. Dan seandainya status wasilah Rasulullah hanya berlaku ketika beliau masih hidup, maka sudah pasti Rasulullah akan berkata semisal: “Ingat, aku hanya sebagai wasilah ketika aku masih hidup saja! Atau: Jika bertawassul tidak boleh dengan dzat saya, tapi dengan doa saya!” Tetapi nyatanya Rasulullah mengakuinya dan tidak memberi batasan. Karenanya dalam kaidah Ushul fiqh dikatakan:
اِنَّ الْبَيَانَ لاَ يُؤَخَّرُ عَنْ وَقْتِ الْحَاجَةِ

“Penjelasan tentang hukum tidak boleh ditunda di saat penjelasan itu dibutuhkan”. (Al-Talkhish fi Ushul al-Fiqh, II/208)

Lalu dari mana pihak yang anti tawassul melarang Rasulullah dijadikan sebagai wasilah setelah beliau wafat, padahal beliau sendiri tidak pernah menyatakan demikian?

Sumber : (Diringkas dari Buku Kajian Tawassul, LBM NU Sby)

Wallahu a'lam bishowab

Allahuma sholii 'alaa sayyidina muhammad wa 'alaa aalihi wa shohbihi wa salim

Redaksi

Rumah Muslimin Grup adalah Media Dakwah Ahlusunnah Wal jama'ah yang berdiri pada pertengahan tahun 2017 Bermazhab Syafi'i dan berakidah Asyariyyah. Bagi sobat rumah-muslimin yang suka menulis, yuk kirimkan tulisannya ke email kami di dakwahislamiyah93@gmail.com

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama
close