Seseorang Yang Mengerti Bahasa Arab Dan Baca Kitab-kitab Para Ulama, Tidak Dapat Disebut Sebagai Ulama



SESEORANG YANG MENGERTI BAHASA ARAB DAN BACA KITAB-KITAB PARA ULAMA, TIDAK DAPAT DISEBUT SEBAGAI ULAMA

KH. Abdi Kurnia Djohan :

Jika mengerti bahasa Arab dan bisa membaca kitab-kitab para ulama, seseorang sudah dianggap sebagai kyai, tentu A.J. Wensinck, Joseph Schacht, Snouck Hurgronje, dan para orientalis lainnya sudah layak disebut sebagai kyai.

Tapi, rasa-rasanya kemampuan berbahasa Arab dan membaca kitab-kitab para ulama, belum cukup mengantarkan seseorang untuk disebut sebagai kyai (ulama). Sependek penglihatan saya, sosok kyai adalah pertemuan dari pemahaman terhadap ma'rifat, hakikat, dan syari'at. Kehidupan seorang kyai menggambarkan thariqat (jalan ruhani).

Berkumpulnya ma'rifat, hakikat dan syariat di dalam pribadi seseorang itu bukan sesuatu yang mudah didapat. Tidak sedikit orang yang belajar dan memahami kitab Ihya' Ulumiddin, atau al-Hikam Ibnu Athoillah atau Risalah Qusyairiyyah, namun itu tidak menjamin mereka mampu merangkum hakikat, ma'rifat dan syari'at di dalam diri mereka.

Kemampuan untuk mengumpulkan ma'rifat, hakikat, dan syariat, merupakan hibah (anugerah) dari Allah. Anugerah itu tidak saja diperoleh melalui proses belajar secara formal. Tapi, bisa jadi hibah itu diberikan karena sebab keridhoan. Dan kita tidak bisa menerka dari mana keridhoan itu berasal dan bagaimana bentuk keridhoan itu.

Sisi ini yang tidak didapat oleh Wensinck, Schacht, Juynboll, Hurgronje atau para orientalis lainnya ketika mereka membaca dan menganalisis karya-karya para ulama. Mereka hanya mahir pada batas epistemologi. Namun, ketika mencoba masuk ke dalam ranah ontologi, Allah menutup rapat pintu-pintu hikmah-Nya. Sehingga, pengetahuan yang mereka dapat, tidak bisa mendatangkan hidayah.

Di antara umat Islam pun ada yang keadaannya seperti para orientalis itu. Mereka pandai berbahasa Arab, bahkan pandai membuat ilustrasi pemikiran para ulama masa lalu dengan bahasa yang memukau. Namun, penjelasan-penjelasan yang disampaikannya itu tidak membuat jiwa-jiwa yang membaca dan mendengarnya tidak merasakan getaran ilahiyyah yang disampaikan. Ilmu yang ditampilkan, hanya berputar di wilayah rasional, dan memang semuanya masuk serta bisa diterima di akal. Tapi, ketika ilmu dibawa ke dalam hati, nurani menolak. Ruh pun menjerit karena ada "sesuatu" yang lain ikut terbawa ke dalam ilmu itu.

Ilmu yang disampaikannya itu "gagal" menghimpun ma'rifat, hakikat, dan syariat. Kalaupun bisa menampilkan penjelasan dari sisi syari'at, hakikatnya pun tertutupi apalagi ma'rifat. Karena itu, pada zaman sekarang ini, kita dapat orang yang ilmu agamanya mumpuni, tapi doanya tidak manjur untuk menjadi suluh umat. Jangankan untuk orang lain, untuk anaknya sendiri, doanya tumpul. Kenapa itu bisa terjadi?

Kalau yang ilmu agamanya mumpuni saja doanya bisa tumpul, apalah lagi al-faqir yang memang tidak punya apa-apa dan tidak bisa apa-apa ini?

Pada akhirnya, saling mendoakan untuk kebaikan itulah yang barangkali bisa membuat harapan-harapan baik kita didengar Allah...

Semoga pagi ini Allah menambahkan keberkahan umur dan rejeki untuk kawan-kawan semua.

Wallahu a'lam Bishowab

Allahuma sholii 'alaa sayyidina muhammad wa 'alaa aalihi wa shohbihi wa salim

Redaksi

Rumah Muslimin Grup adalah Media Dakwah Ahlusunnah Wal jama'ah yang berdiri pada pertengahan tahun 2017 Bermazhab Syafi'i dan berakidah Asyariyyah. Bagi sobat rumah-muslimin yang suka menulis, yuk kirimkan tulisannya ke email kami di dakwahislamiyah93@gmail.com

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama
close