Imam Syathibi dan Maqashid Syariah

IMAM SYATHIBI DAN MAQASHID SYARIAH

RUMAH-MUSLIMIN.COM - Pernah dengar nama Imam Syathibi? Bagi pelajar ilmu syariat, secara khusus ilmu usul fikih, pasti sudah tidak asing lagi dengan nama beliau. Beliau adalah ulama dari mazhab Malik yang terkenal dengan kepakarannya dalam ilmu maqashid syariah. Karangan fenomenal beliau dalam ilmu usul adalah kitab al-Muwafaqat. Kitab ini sudah menjadi salah satu referensi utama dalam memahami maqashid syariah. Setiap tulisan tentang maqashid di zaman sekarang rata-rata merujuk kepada kitab beliau atau merujuk kepada orang yang merujuk kepada beliau.

Ada sisi menarik dari beliau yang ingin saya tampilkan. Ini berkaitan dengan bagaimana manhaj beliau dalam berfatwa.

Dalam kitab Fatawi beliau berkata: "Aku tidak menghalalkan - insya Allah dalam agama dan amanahNya -  tatkala aku mendapati dua pendapat dalam mazhab (maliki) kemudian aku pilih saja salah satunya untuk difatwakan, meskipun aku ini hanya seorang muqallid. Akan tetapi aku akan berusaha mencari pendapat yang masyhur yang diamalkan maka pendapat itulah yang akan aku sampaikan kepada mustafti, dan aku sama sekali tidak akan menyinggung pendapat yang lain. Jika aku tidak mengetahui pendapat yang masyhur dan aku tidak menemukan tarjih dari seorang pun masyayikh maka aku akan tawaquf". Demikian pernyataan beliau.

$ads={1}

Saya banyak merenungkan pernyataan beliau ini. Pernyataan tersebut membawa pesan yang mendalam. Setidaknya ada dua pelajaran yang bisa kita petik di sini.

Baca Juga : 

Teks bacaan dan Download Kitab Maulid Adhiya' Ullami lengkap dengan terjemahan

Yang pertama tentang betapa tawadu'nya diri beliau. Untuk masalah keilmuan saya kira tidak ada orang yang meragukan kealiman beliau. Sebagai contoh saja, beliau mampu mensyarah Alfiyahnya Imam Ibnu Malik dalam syarahan yang besar. Bukan main-main, syarahnya sampai sepuluh jilid. Syarahan beliau ini menjadi bukti nyata akan kehebatan beliau dalam bahasa arab. Beliau sendiri yang mengatakan orang yang sudah sampai ke tahap akhir dalam bahasa arab maka ia juga sudah berada di tahap akhir dalam memahami ilmu syariat. 

Kemudian beliau juga menulis kitab al-Muwafaqat. Beliau sendiri menegaskan di awal kitab bahwa tidaklah diizinkan membaca kitab ini, baik untuk ifadah maupun istifadah, sampai si pembaca sudah "kenyang" terlebih dahulu dalam ilmu syariat, usul dan furu'nya, manqul dan ma'qulnya. Maksudnya orang yang ingin mengkaji kitab al-Muwafaqat yang beliau tulis itu mestilah orang yang sudah pakar pula dalam ilmu syariat. al-Muwafaqat bukanlah bacaan pemula. Orang yang berani berbicara demikian dapat dipastikan ia sudah lebih dahulu kenyang dengan ilmu-ilmu syariat.

Lalu kemudian apa yang kita dapati? Beliau sendiri menegaskan diri beliau hanyalah seorang muqallid. Beliau merasa dengan keilmuan yang seperti itu ternyata belum cukup untuk menganggap diri beliau sudah mampu berijtihad langsung. Tanpa malu dan tanpa ragu beliau mengakui diri beliau hanyalah seorang muqallid. Kehebatan beliau dalam ilmu syariat tersebut sama sekali tidak membuat beliau lupa diri. Seolah-olah beliau ingin memberikan pesan kepada kita bahwa betapapun tingginya ilmu seseorang apabila ia belum sampai ke derajat terendah dalam berijtihad maka tetap saja ia seorang muqallid. Ini berbeda sekali rasanya dengan kita para pelajar zaman sekarang yang ilmunya hanya secuil tapi angkuhnya minta ampun. Astagfirullahalazhim.

Kemudian yang kedua tentang manhaj beliau dalam berfatwa. Ini juga penting. Pernyataan beliau di atas secara tegas menjelaskan bagaimana beliau sangat mengikat diri dengan mazhab yang beliau anut. Dalam berfatwa, Beliau sama sekali tidak mau keluar dari mu'tamad mazhab Malik. Kalau tidak ada pendapat yang mu'tamad maka beliau akan lebih memilih diam, tidak mau berfatwa sama sekali. Sejujurnya saja ini manhaj berfatwa yang sangat ketat. Manhaj beliau yang seperti ini jarang sekali saya temukan pada ulama bermazhab lainnya. Dalam mazhab Syafi'i misalkan juga sering ditemukan permasalahan yang khilafiyah di kalangan ulama mazhab sendiri. Secara asalnya memang kita akan mengambil pendapat yang mu'tamad. Namun bukan berarti seluruh pendapat yang tidak mu'tamad akan dibuang begitu saja. Ada kondisinya di mana pendapat yang tidak mu'tamad bisa diamalkan dan difatwakan. Ada caranya. Ulama mazhab sendiri yang menjelaskan seperti itu. Akan tetapi Imam Syathibi berbeda. Beliau hanya mau berfatwa dengan pendapat yang mu'tamad dalam mazhab saja, bahkan untuk mengasih isyarat bahwa ada khilaf dalam mazhab saja beliau tidak mau.

Baca Juga : 

Baca Teks Syair Qasidah Lirik Ya Rasulallah Salamun ‘Alaik

Amalan Agar Nabi Muhammad SAW Selalu Memandang Kita

Ini betul-betul membuat saya merenung. 

Apa yang terjadi?

Orang yang paling paham tentang maqashid syariah ternyata adalah orang yang paling takut untuk berfatwa di luar mu'tamad mazhab??

Ini berbeda sekali rasanya dengan apa yang kita dapati sekarang bagaimana orang dengan santainya berfatwa dengan pendapat yang tidak mu'tamad dengan dalih menimbang maqashid, maslahat, taisir atau semacamnya. Seolah tidak ada beban tatkala menyalahi pendapat yang mu'tamad. Ya masih mending kalau pendapat yang difatwakan merupakan khilaf yang mu'tabar. Tapi sampai menfatwakan pendapat yang syadz yang sudah dibuang oleh jamaah ilmiah? Atau bahkan pendapat yang menyalahi ijmak?? 

Kok bisa? 

Syathibi yang tidak memahami maqashid seperti kita atau kita yang sebetulnya belum memahami maqashid dengan baik seperti beliau?

Saya tidak menuntut kita semua untuk bisa menjadi seketat Imam Syathibi dalam berfatwa. Realitanya memang sulit sekali seperti itu. Tapi kalau mau memfatwakan pendapat yang tidak mu'tamad sudah seharusnya kita sangat berhati-hati. Konsekuensinya boleh jadi lebih berat dibandingkan apa yang kita bayangkan sebelumnya. 

Wallahu ta'ala a'la wa a'lam

Oleh : Ustadz Khalilur Rahman

Sumber : dikutip melalui laman facebooknya

Wallahu a'lam Bishowab

Allahuma sholii 'alaa sayyidina muhammad wa 'alaa aalihi wa shohbihi wa salim

- Media Dakwah Ahlusunnah Wal Jama'ah - 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama
close