Menyematkan Sayyidina Saat Menyebut Nabi Merupakan Bentuk Adab

MENYEMATKAN SAYYIDINA SAAT MENYEBUT NABI MERUPAKAN BENTUK ADAB

RUMAH-MUSLIMIN.COM - Nabi Muhammad SAW adalah Sayyidul Khalqi dan pusat dari segala penciptaan manusia dan seluruh alam semesta. Bukan Nabi dan Rasul biasa. Beliau Imam Rusuli (Imam dari seluruh utusan-utusan Allah), bukan Rasul biasa, apalagi sekedar manusia biasa. 

Landasan para ulama Ahlussunah untuk menghormati penyebutan Nama Rasulullah SAW, agar tidak disamakan dengan penyebutan nama antara sesama manusia lainnya sangatlah jelas. Dapat kita sebutkan diantaranya :

لا تجعلوا دعاء الرسول بينكم كدعاء بعضكم بعضا

"Jangan memanggil Nabi Muhammad SAW seperti kalian memanggil (nama) sesama kalian" (QS. An-Nur :63)

Bahkan dalam memaknai ayat tersebut Seluruh ulama tafsir dalam kitab-kitab tafsir nya sepakat, bahwa tidak pantas menyebut nama Nabi hanya dengan sebutan nama "Muhammad" saja.

Begitupun saat membaca shalawat atas Nabi. Sudah sepantasnya ada kalimah penghormatan dalam menyebut nama Nabi Muhammad SAW dengan menyebut, "Shollallahu 'ala Sayyidina Muhammad" penuh dengan rasa ta'zhim (pengormatan) dan adab (santun), karena Nabi bukan pesuruh kita ataupun teman sejawat kita yang boleh kita panggil dengan nama nya saja.

Beberapa alasan lain yang dijadikan dalil ulama Ahlussunah atas kebolehan menambahkan kalimah "Sayyidina" kepada nama Nabi Muhammad SAW dalam lafaz shalawat adalah :

1. Disebutkan dalam sebuah hadits shahih  bahwa Rasulullah mengatakan :

(أنا سيد ولد آدم)

"Saya adalah tuan (Sayyid) dari anak-anak Adam (seluruh manusia)." (HR. Muslim)

Beliau menyebut dirinya Sayyid yang bisa diartikan sebagai tuan dan pemimpin. Bukan hanya untuk manusia, bahkan beliau adalah tuan bagi seluruh makhluk, baik itu manusia, jin maupun malaikat.

2.. Memang benar ada ayat yang menyatakan bahwa Nabi hanyalah manusia biasa :

قل إنما أنا بشر مثلكم 

" Katakanlah sesungguhnya aku (Muhammad) adalah manusia seperti kalian. (QS. Al-Kahfi : 110).

Namun kita tidak boleh lupa ada sambungan ayat setelahnya :

قل إنما أنا بشر مثلكم يوحى إلي أنما إلهكم إله واحد

" Katakanlah sesungguhnya aku adalah manusia seperti kalian yang diberikan Wahyu kepadaku, bahwasanya Tuhan kalian hanya satu."

Jadi, betul memang bahwa Nabi tidak sama dengan Tuhan, karena Nabi hanya manusia seperti yang lainnya. Namun tidak boleh ditinggalkan sambungan ayatnya "aku manusia biasa yang diwahyukan kepadaku" (يوحى إلي). 

Artinya bahwa walaupun Nabi manusia, namun Nabi tidak sama dengan manusia biasa lainnya, karena Nabi diberikan Wahyu oleh Allah SWT. Sementara manusia lainnya tidak diberikan Wahyu apapun. Nabi ma'shum dari dosa, sementara kita bergelimangan dosa. Nabi doanya Maqbul, sementara kita doanya belum tentu diterima.

$ads={1} 

3. Senada dalam memaknai ayat di atas, ahli tafsir Al-Alusi dalam kitab tafsirnya "Ruhul Ma'aniy" membahas ayat di atas dalam sudut pandang ilmu Ma'aniy (salah satu cabang Bahasa Arab) :

والقصر في الموضعين بناء على القول بإفادة إنما بالكسر وأنما بالفتح الحصر من قصر الموصوف على الصفة قصر قلب 

" Ada dua bentuk Qasr dalam ayat di atas. Yang satu menggunakan إنما (dengan Kasrah) : (إنما أنا بشر مثلكم يوحي إلي)

Dan yang satu menggunakan fathah أنما :

(أنما إلهكم إله واحد )

Sementara pokok pembahasan di sini adalah Qasr yang pertama yaitu إنما أنا بشر مثلكم, karena ayat ini secara Zahir arti tekstualnya dapat membuat orang-orang "yang tidak faham" diantara kaum muslimin, tidak menghormati Nabi Muhammad SAW dan membuat mereka menyebut nama Nabi hanya dengan namanya saja.

Di dalam memaknai Qasr ini, Al-Alusi menyimpulkan dua benang merah berdasarkan jenis Qasr tersebut seperti yang dapat dipelajari dalam Ilmu Maaniy :

Jenis pertama, "Qasr Maushuf 'Ala Shifah" maksudnya, maushuf (seseorang/sesuatu) dikhususkan dengan sebuah sifah (sifat tertentu). Adakalanya orang lain tidak memiliki sifat yang sama dengannya. Namun adakala nya juga orang lain itu memiliki sifat yang sama dengan nya.

Ini artinya, maushuf (yaitu Rasulullah) dikhususkan dengan sebuah sifat yang juga dimiliki oleh Rasul-rasul lain, yaitu sifat kemanusiaan (بشر).  Artinya para Nabi dan Rasul itu, termasuk Nabi Muhammad SAW, mereka semua bukanlah Tuhan, akan tetapi mereka memiliki sifat kemanusiaan sama seperti kita. Yang butuh makan, minum, tidur, dan juga mengalami kematian.

Jadi tujuan Qasr ini adalah menafikan sifat ketuhanan dari diri Rasulullah SAW, dan  mengkhususkan Rasulullah dengan sifat-sifat manusia.

- Kemudian yang kedua, dalam Qasr di atas Al-Alusi juga mengkategorikan nya sebagai "Qasr Qalb". Qasr Qalb artinya adalah Qasr (pengkhususan) yang digunakan untuk tujuan me radd (menentang) pendapat Mukhotob (lawan bicara) yang berlawanan dengan hakikat yang sebenarnya. Tujuannya untuk mengembalikan pemahaman lawan bicara pada pemahaman yang benar.

Karena sebelum turun ayat ini, ada diantara Mukhotob (konteks nya di sini adalah para sahabat Nabi) yang mengira Nabi Muhammad adalah orang yang hidupnya di dunia akan kekal. Bahwa Nabi tidak akan mati. Maka ini ditentang oleh ayat di atas yang berisi "Qasr Qalb" tersebut dengan menyatakan bahwa Rasulullah adalah manusia biasa yang juga merasakan sifat kemanusiaan, seperti rasa sakit, butuh makan dan minum, bahkan juga mengalami kematian seperti halnya manusia biasa. Maka "Qasr Qalb" di sini berfungsi untuk membalikkan (Qalb) pemahaman kaum muslimin yang awalnya salah agar menjadi benar tentang sifat kemanusiaan yang nyata dimiliki Rasulullah SAW.

Jadi dari satu adat qasr (إنما) yang bisa dikategorikan ke dalam dua jenis qasr  di atas (Qasr Maushuf ala sifah dan Qasr Qalb), dapat kita simpulkan kesimpulan yang sama. Yaitu Nabi tidak sama dengan Tuhan. Karena Nabi adalah manusia yang sifat-sifat kemanusiaan dasar nya sama dengan kita. Hanya saja Qasr Qalb dipandang berdasarkan pemahaman Mukhotob (lawan bicara), apakah pemahaman lawan bicara sama atau tidak dengan yang Allah inginkan dalam ayat tersebut. Sementara Qasr Maushuf 'Ala Sifah dipandang berdasarkan unsurnya, yaitu siapa Maushuf (orang) dan apa sifah (pengkhususan) untuknya.

Kemudian Al-Alusi melanjutkan :

والمقصور عليه في الأول { أَنَاْ } والمقصور البشرية مثل المخاطبين، وهو على ما قيل مبني على تنزيلهم لاقتراحهم عليه عليه الصلاة والسلام ما لا يكون من بشر مثلهم منزلة من يعتقد خلافه أو على تنزيلهم منزلة من ذكر لزعمهم أن الرسالة التي يدعيها صلى الله عليه وسلم مبرهنة بالبراهين الساطعة تنافي ذلك، وقيل إن المقصود بأن يقصر عليه الإيحاء إليه صلى الله عليه وسلم على معنى أنه صلى الله عليه وسلم مقصور على إيحاء ذلك إليه لا يتجاوزه إلى عدم الإيحاء كما يزعمون، 

"Maqsur alaih yang pertama adalah kata ganti أنا (saya)

Maqsur nya adalah بشرية sifat kemanusiaan.

Maka jika dilihat berdasarkan Sirr Balaghiy (rahasia gaya bahasa) yang dikandung ayat ini, dapat disimpulkan oleh Al-Alusi dua tujuan :

- pertama, untuk  menentang orang yang berpendapat kebalikannya (yaitu bahwa Nabi bukan manusia biasa).

Atau, mereka beralasan bahwa risalah yang dibawa Nabi itu membawa dalil yang menafikan sifat kemanusiaan tersebut (gunanya untuk menentang mereka yang menyangka bahwa Nabi bukan manusia biasa). Seperti yang kita jelaskan dalam dua jenis Qasr di atas.

- kedua, maksudnya adalah untuk meng-qasr (mengkhususkan) bahwasanya "Wahyu" (يوحى إلي) hanya diturunkan saat itu untuk Nabi Muhammad SAW saja. Gunanya untuk menentang pendapat orang yang menyangka bahwa Nabi tidak diberikan Wahyu kepadanya, layaknya manusia biasa lainnya. 

Jadi Qasr ini bertujuan menentang orang-orang yang mengatakan bahwa Nabi bukanlah utusan Allah.

Maka pada poin kedua ini, Maqsur nya bukan sifat "Basyariah" (sifat kemanusiaan) lagi, tapi Maqsur nya adalah sifat peng-wahyu-an dalam kalimah يوحى إلي  (diwahyukan kepadaku). Sehingga yang ingin dikhususkan Allah untuk Nabi bukanlah sifat-sifat manusia yang sudah jelas tampak ada melekat pada diri Nabi, namun yang ingin dikhususkan Allah adalah sifat turunnya Wahyu Allah spesial kepada Nabi, yang mana tidak turun kepada orang biasa selain Nabi.

Begini kira-kira penjelasan panjang lebar nya Al-Alusi tentang Qasr dalam ayat ini dari segi Ilmu Maaniy. Penjelasan secara sastra ini tentu agak ribet dan mungkin dianggap sulit oleh sebagian orang, namun pada kenyataan nya tidak lah begitu sulit jika kita mau sedikit berfikir berat.

Dari seluruh penjelasan ulama yang mulai menafsirkan Al-Quran pada umur 35 tahun tersebut kita dapat menarik sebuah kesimpulan besar :

Bahwa Nabi Muhammad SAW memang benar memiliki sifat seperti manusia biasa, namun beliau punya keistimewaan yang tidak kita miliki, yaitu turunnya Wahyu Allah kepada beliau. Dari satu sisi benar bahwa beliau tidak punya sifat ke-Tuhan-an. Namun dari sisi lain beliau tidak sama seperti kita manusia biasa, karena beliau menerima wahyu Allah, sedangkan kita tidak menerima wahyu Allah. Malah sangat banyak diantara kita yang faham pun tidak dengan Wahyu Allah. 

Maka setelah ditilik dari segi Ilmu Ma'aniy seperti ini, jadilah ayat ini diantara dalil, kenapa ulama Ahlussunah membolehkan tawassul dengan Nabi Muhammad semasa beliau hidup ataupun setelah beliau tiada. Beliau adalah "perantara" (wasilah) antara kita dengan Allah. Doanya beliau Maqbul, doanya kita belum tentu diterima. Ditambah lagi, tanpa eksistensi beliau, tidak akan sampai wahyu-wahyu Allah kepada kita.

4. Diantara sebab lain Ulama Ahlusunnah tidak menyebut Nabi Muhammad SAW hanya dengan namanya saja adalah karena Abu Jahal dan gerombolan nya dahulu selalu memanggil Nabi dengan kata, "Wahai Muhammad". Sementara sahabat-sahabat Nabi selalu menyebut Nabi dengan kalimat penghormatan, 'Wahai Nabi Allah atau wahai Rasul Allah".

Begitupun Ulama-ulama Ahlussunah, sepeninggal Nabi, sangat menghormati Nabi dengan menambahkan kalimat penghormatan "Sayyidina Muhammad" atas nama Nabi Muhammad SAW setiap kali menyebut nama beliau dalam shalawat nya.

Hal ini dapat diqiyaskan saat kita memanggil nama orang tua kita dengan namanya saja, tanpa menyebut "ayah" atau "ibu". Atau kita menyebut nama guru-guru kita tanpa menyebut "bapak" atau "ibu" atau "syeikh" atau "Maulana" dsb. 

Apakah itu termasuk beradab? Tentu saja tidak.

Maka sudah sepatutnya kita tidak menjadikan sholawat kita sama halnya seperti panggilan hinaan kafir Quraisy kepada Nabi Muhammad SAW dengan hanya menyebut "Muhammad Muhammad" saja.

5. Dari segi Fiqih, ulama berbeda pendapat tentang kebolehan menambah lafaz "Sayyidina" dalam Shalawat Ibrahimiyah. Yang dipegang oleh Ulama Ahlussunah adalah Sunnah menambahkannya, karena penambahan itu sejalan dengan "Sunnah Adab" yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya.

Selain itu, para Ulama juga mengatakan bahwa penambahan lafaz "Sayyidina" yang bertujuan untuk Kamal ta'addub (perilaku beradab) kepada Rasulullah SAW tidak mempengaruhi sama sekali sah atau batal nya shalat. Oleh sebab itulah para imam Fiqih, seperti Al-Izz bin Abdissalam, Al-Qarafiy,  Arramliy, Ibnu Abidin, Assyarqawiy, dsb membolehkannya.

Yang menjadi dasar pengambilan hukum ini adalah sikap penolakan para sahabat Rasulullah SAW ketika diperintah oleh Nabi, dan mereka lebih memilih untuk " kamal taaddub" (beradab) sebagai pengganti "imtisal" (taat kepada Nabi).

Sebagaimana dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa Sayyidina Abu Bakar RA pernah menggantikan Rasul menjadi imam sholat, karena saat itu Rasulullah SAW tengah mendamaikan dua kelompok yang terlibat perselisihan. Saat Sayyidina Abu Bakar sedang menjadi imam, dan Jamaah sedang sholat, Rasul tiba-tiba datang. Orang-orang sadar dengan kedatangan Rasul, namun Sayyidina Abu Bakar saking khusyu' nya tidak sadar. Sehingga bertepuk lah para jamaah agar Sayyidina Abu Bakar menyadari kedatangan Rasul. 

Setelah menyadari, Rasulullah memberi isyarat agar Sayyidina Abu Bakar tetap menjadi imam. Namun Sayyidina Abu Bakar malah mundur ke shaf di belakang nya dan tidak mentaati perintah Rasulullah SAW tersebut. Sehingga Rasul pun maju menjadi imam.

Apakah ini termasuk maksiat? Bid'ah? Atau Menentang Nabi?

Jawabannya, tentu tidak. Setelah sholat selesai pun, Nabi bertanya kenapa beliau tidak mentaati perintah Rasulullah untuk tetap menjadi imam?

Sayyidina Abu Bakar hanya menjawab :

مَا كَانَ لِابْنِ أَبِي قُحَافَةَ أَنْ يُصَلِّيَ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم) متفق عليه

"Tidak boleh keturunan Abu Quhafah (ayahnya Sayyidina Abu Bakar) menjadi Imam di saat Rasulullah SAW masih ada di hadapannya". (HR. Bukhari Muslim).

Mendengar itu Rasulullah tidak membantahnya, apalagi sampai memarahi atau membid'ahkan. Justru yang dipermasalahkan Rasul setelah itu adalah sikap kaum muslimin yang saat itu belum tahu bahwa bertepuk adalah Sunnah tanbih (menegur) imam untuk jamaah wanita, dan tasbih (mengucap subhanallah adalah Sunnah menegur imam untuk jamaah lelaki). 

Jadi Nabi sama sekali tidak mempermasalahkan sikap Sayyidina Abu Bakar yang menentang nya tersebut, karena Nabi tahu bahwa itu dilakukan oleh Sayyidina Abu Bakar karena beliau lebih memilih untuk menyempurnakan "adab" kepada Rasulullah, dan tidak mau menjadi imam pengganti Nabi selama Nabi hadir di hadapannya, walaupun Nabi telah jelas-jelas memilihnya menjadi Imam. Karena Sayyidina Abu Bakar takut bersikap "kurang ajar" menjadi Imam pengganti bagi kaum muslimin, di saat Nabi masih hidup bersama mereka. 

Perhatikan sikap Sayyidina Abu Bakar dalam menanggapi perintah Nabi, jika memang taat saja lebih utama secara mutlak, maka Sayyidina Abu Bakar pasti akan langsung menjadi imam pengganti Nabi tanpa fikir panjang. Itu kalau memang benar bahwa "taat" saja sudah cukup dalam agama ini.

Namun Sayyidina Abu Bakar menolak perintah Nabi, bukan karena tidak mau ikut sunnah, apalagi menentang Nabi, tapi karena beliau tahu bahwa tidak selamanya taat saja dapat membawa kepada jalan kebenaran. Malah Sayyidina Abu Bakar takut bersikap "kurang ajar" kepada Nabi dengan sikap ketaatan nya tersebut. 

$ads={2} 

Bukan hanya satu kisah ini saja. 

Kisah kedua. Ketika perjanjian Hudaibiyah dilaksanakan antara kaum muslimin dan kaum musyrik, Rasulullah SAW memerintahkan kepada Sayyidina Ali Bin Abi Thalib untuk menjadi sekretaris (penulis) yang mewakili Rasul pada surat perjanjian itu. 

Di saat Rasulullah memerintahkan untuk menulis:

هذا ما صالح عليه محمد رسول الله سهيل بن عمرو

Maksudnya : 

"Ini adalah perdamaian yang dibuat Rasulullah Muhammad dan Suhail bin Amru."

Sayyidina Ali pun menuliskannya. 

Namun seketika itu juga Suhail bin Amru yang menjadi perwakilan orang musyrik marah dan protes. 

" Kalau kami tahu bahwa kamu Rasul, tentu kami tidak akan membunuh kaum mu dan menghalangi mu. Tulis saja seperti biasa, nama mu dan nama ayahmu (tidak usah pakai "Rasulullah")."

Lalu Rasulullah menyuruh Sayyidina Ali untuk menghapusnya. Namun Sayyidina Ali malah tidak mentaati perintah Nabi, dan (ada banyak redaksi, termasuk di dalam Shahih Bukhari) ungkapan beliau saat mengatakan bahwa beliau tidak akan menghapusnya  :

لا والله، لا أمحاك أبداً, أو قال: إن يدي لا تنطلق بمحو اسمك من النبوة. أو قال: ما أمحو اسمك من النبوة أبداً. أو ما كنت لأمحو اسمك من النبوة أو قال:(لا أمحوه أبداً) وفي نص البخاري عن البراء بن عازب: (ما أنا بالذي أمحاه).

Intinya : "Saya tidak akan menghapus namamu selamanya, wahai Rasul."

Lalu Rasulullah SAW menyuruh Sayyidina Ali untuk meletakkan tangan beliau ke arah nama "Rasulullah" yang ditulis Sayyidina Ali dalam surat perjanjian itu, lalu Rasulullah yang akhirnya menghapusnya sendiri. Karena seperti yang kita tahu, bahwa memang Rasulullah adalah nabi yang tidak dapat membaca dan menulis, sehingga perlu bantuan Sayyidina Ali untuk mengetahui letak kalimat "Rasulullah" dalam surat perjanjian yang terlanjur tertulis tersebut.

Dalam riwayat Ibnu Hibban, bahkan Rasul memerintahkan Sayyidina Ali dua kali untuk menghapus nya. Namun Sayyidina Ali tetap menolaknya.

Sikap Sayyidina Ali yang menolak perintah Rasulullah ini, bahkan sampai dua kali, apakah termasuk bid'ah, maksiat, menyelisihi Rasulullah SAW? 

Atau justru ini adalah bentuk rasa cinta dan bentuk penghormatan serta Kamal ta'addub (sempurna nya adab) kepada Rasulullah SAW?

Sayyidina Ali enggan untuk menghapuskan kalimah "Rasulullah" dari surat perjanjian Hudaibiyah sebagai bentuk kesempurnaan adab dan penghormatan kepada Rasul, yang mana dengan semua kisah inilah para ulama menyimpulkan sebuah kaedah : 

سلوك الأدب أفضل من الإمتثال

" Perilaku beradab adalah lebih baik daripada sekedar taat".

Begini lah para sahabat mengajarkan kepada kita, bahwa sekedar taat saja tidak akan membawa kepada kesempurnaan dalam beragama. Karena "buah" dari segala ketaatan kita kepada Allah dan Rasul Nya tersebut akan tercermin dari perilaku dan adab kita kepada Allah, Rasul Nya, dan seluruh manusia.

Dalam hal ini, kita tidak mengharamkan orang untuk menyebut shalawat dengan nama "Muhammad" saja 'kama nuzilat', namun alangkah baiknya jika ketaatan kita pada perintah Rasulullah SAW dalam bershalawat diiringi pula dengan sikap 'kesempurnaan adab' kita kepada beliau SAW sebagaimana yang diajarkan oleh Para Sahabat Rasulullah SAW saat beliau masih hidup.

Apakah kita tidak boleh meniru sikap "adab yang sempurna" kepada Rasulullah yang dimiliki oleh para sahabat ini?

Bid'ah kah kita ketika ingin menghormati dan "menyempurnakan adab" kepada Rasulullah yang sangat kita cintai dengan menambahkan kalimat "sayyidina" dalam setiap shalawat kita?

Allahumma sholli wa sallim wa barik alaihi.

***

Pemaknaan Tasawwuf : Nabi adalah Perantara Doa Kita

Syeikh Al-'Arif Billah Muhammad Al-Kattaniy menyebutkan bahwa ada makna lain yang dapat dimaknai pula pada ayat dalam surat An-Nur ayat 63 di atas, seperti diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dan Hasan Al-Basriy, yaitu :

"Jangan jadikan doanya Nabi (kepada Allah) seperti doanya selain Nabi (kepada Allah)".

Doanya Nabi mustajab langsung diterima Allah. Sementara doanya manusia biasa, terkadang diterima terkadang ditunda. 

Oleh sebab itu, Ulama Ahlussunah selalu mengatakan bahwa Nabi merupakan "perantara" antara kita dengan Allah. Tanpa Nabi, syariat ini tidak akan sampai. Tanpa Nabi, syafaat juga tidak akan sampai pada kita.

Bahkan Allah sendiri membedakan posisi kita dengan posisi Nabi. Nabi tidak boleh dipanggil nama nya saja seperti kita memanggil nama teman kita atau bawahan kita. Nabi juga tidak boleh disamakan kedudukannya dengan kita karena doanya Nabi Maqbul, sementara doa kita belum tentu langsung dikabulkan Allah SWT.

Lantas, siapa kita menyamakan posisi Nabi dengan posisi kita manusia biasa? 

Siapa kita menyamakan doanya Nabi dengan doanya kita?

Memang betul kita bisa berdoa kepada Allah secara langsung tanpa perantara, namun bukan lah sebuah kesalahan jika berdoa kepada Allah dengan perantara (tawassul). Apalagi dikategorikan bid'ah dan maksiat. Karena malah justru dengan perantara dan tawassul dengan Nabi itulah besar kemungkinan doa-doa kita akan lebih diterima Allah. Karena sifat doanya Nabi itu Maqbul, sementara sifat doa kita belum tentu Maqbul.

***

I'tirodhat (Kritikan)

Jika ada orang yang mengatakan :

"Ah kan itu larangan untuk tidak menyebut nama Nabi dulu ketika Nabi masih hidup, bukan nya panggilan dalam Shalawat. Kita sudah jauh dengan zaman Nabi, tidak mungkin kita memanggil Nabi lagi. Jadi tidak perlu menambah "Sayyidina", Nabi pun tidak akan mendengarnya. "

Jawab :

Itulah beda kita Ahlusunnah dengan manhaj dakwah lainnya. Kita menganggap Rasulullah sangatlah dekat, walaupun beliau sudah tiada. Kedekatan itu bisa dirasakan saat kita mengirimkan shalawat dan salam kepadanya.

Ahlusunnah selalu rindu kepada Nabi dengan menyebut nya dalam shalawat. Karena kita yakin dengan ayat Allah bahwa Allah dan para malaikat Nya pun bershalawat kepada Rasul. Sementara golongan "yang satu itu" menutup matanya dari Sunnah bershalawat, mereka seperti membenci Ahlussunah yang bersenandung shalawat, bahkan mereka membid'ahkan nya.

Ahlusunnah selalu rindu untuk bertemu Rasul, walau hanya di dalam mimpi. Namun mereka seperti tidak percaya jika ada diantara umat Nabi yang mimpi bertemu Rasul, bahkan banyak diantara mereka yang menganggap ulama Ahlussunah pembohong dan berkhayal. Padahal mereka tahu logisnya, bahwa semakin kita memikirkan sesuatu setiap saat dan mengucap namanya, semakin hal itu akan selalu teringat bahkan hadir dalam bayangan dan mimpi kita. Jadi bukan hal mustahil untuk bertemu dengan Nabi di dalam mimpi karena mulut dan hati yang senantiasa mengingat Rasulullah SAW.

Walaupun Nabi Muhammad SAW sudah tiada, namun kita Ahlusunnah selalu menganggap Nabi Muhammad hidup di sisi Allah SWT, layaknya para syahid yang "Ahya-un 'inda robbihim yurzaqun", selalu hidup menikmati pemberian Allah di sisi Nya.

Jika syuhada yang zahirnya mati saja ternyata "hidup" di sisi Allah, apalagi seorang Nabi. Namun sikap mereka berbeda dengan sikap Ahlusunnah, mungkin mereka menganggap Nabi sudah mati layaknya binatang yang mati. Tidak akan tahu apa-apa, bahkan mendengar pun tidak. Naudzubillah.

Padahal Nabi semasa hidupnya pernah mengatakan bahwa kaum muslimin yang telah meninggal senantiasa mendengar setiap doa dan salam yang diucapkan kepadanya :

عن بريدة رضي الله عنه قال: "كان رسول الله صلى الله عليه واله وسلم يعلمهم -أي الصحابة الكرام- إذا خرجوا إلى المقابر؛ فكان قائلهم يقول: السلام عليكم أهل الديار من المؤمنين والمسلمين، وإنا إن شاء الله للاحقون، أسأل الله لنا ولكم العافية" رواه مسلم

"Dahulu Rasulullah SAW mengajarkan kepada para sahabat, bila mereka pergi ke kuburan, hendaknya salah seorang mengucapkan salam kepada ahli kubur tersebut : Assalamu'alaikum Ahlu Diyar (penghuni kubur) dari kaum mukminin dan muslimin, dan kami insyaAllah akan ikut menyusul kalian, kami berdoa agar kami dan kalian mendapatkan kesejahteraan". (HR. Muslim).

Maka dalam keyakinan Ahlussunah, orang-orang yang telah meninggal di dalam kuburan dapat mendengar salam kita, doa kita, bahkan mereka dapat menjawabnya. Mereka juga senang bila ada orang yang menziarahinya, sebagaimana semua sifat-sifat ini sangat sesuai dengan kehidupan Alam Barzakh yang yakini sebagai kehidupan yang aktif.

Jika manusia biasa yang tidak diberi Wahyu saja  bisa mendengar doa dan salam dari dalam kuburnya, apalagi Sayyidul Khalqi, Nabi Muhammad SAW ?!

Kita meyakini bahwa dahulu saat kita belum cukup umur beberapa bulan, setiap janin manusia  diambil janjinya untuk tidak menyekutukan Allah dengan satu apapun. Ada kehidupan Dzhulumat Tsalas dalam Alam Janin. Kita semua pernah melaluinya. Padahal dari Alam Dunia tampaknya janin yang masing berumur beberapa bulan itu belum hidup, bahkan saat Ilmu Kedokteran belum secanggih hari ini, saat USG belum ada, Allah telah menguraikan proses kehidupan dalam Alam Janin. Allah menyatakan bahwa manusia telah "hidup" di dalam rahim ibunya semenjak hari pertama, padahal kehidupan janin itu tidak kasat mata dan kita percaya.

Lantas bagaimana kita menafikan kegiatan di dalam alam barzakh yang juga tidak kasat mata, yang pasti dilalui oleh setiap jenazah kaum muslimin baik berupa nikmat maupun azab?

Mungkinkah Nabi yang merupakan pemimpin dari seluruh makhluk tidak merasakan apa-apa saat beliau dikirimi shalawat oleh umatnya, hanya karena kita tidak mampu melihat nya?

Seharusnya kita yakin, bahwa memang sebenarnya tidak ada kematian yang hakiki. Bahkan di saat kita mati pun, kita tetap akan merasakan nikmat ataupun azab atas segala yang kita perbuat selama di dunia. Doa dan kiriman salam dari orang yang masih hidup pun kita sudah pasti akan mendengarnya.

Renungilah dalam-dalam sebuah ungkapan di bawah ini, dari ungkapan Sayyidina Ali bin Abi Thalib -karramallahu wajhah- yang sedari kecil hidup dalam Tarbiyah Nabawiyah :

الناس نيام فإذا ماتوا انتبهو

" Manusia hidup di dunia sejatinya seperti orang tertidur. Maka apabila mereka telah mati, barulah mereka terbangun dan sadar".

Karena sejatinya kematian itu bukan ketika roh terpisah dari badan, namun "kematian" itu adalah ketika roh masih menempel di badan namun kita lupa dan tidak sadar dengan apa tujuan sebenarnya kita hidup di dunia. Dan "hidup" yang sejati itu adalah ketika kita "sadar" sepenuhnya akan tanggung jawab yang kita emban di akhirat kelak.

***

Kesimpulan :

Jangan samakan matinya binatang dengan matinya manusia, apalagi menyamakannya dengan kematian Nabi Muhammad SAW. 

Binatang mati tanpa membawa beban. Kita mati membawa dosa dan amalan. Binatang mati tak mendengar dan merasakan apapun. Namun ketika kita mati, kita dapat mendengar kiriman doa dan salam, serta merasakan nikmat dan azab. 

Maka di hari Jumat yang diberkahi ini, sudah sepatutnya kita perbanyak shalawat. Disertai dengan kesempurnaan cinta kita kepada beliau yang terwujud dalam "kesempurnaan adab" dalam menyebut Nama Nabi di setiap Shalawat dan Salam kita kepada junjungan alam. Sayyidina wa Maulana Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam. 

Wallahu ta'ala a'la wa a'lam.

***

Sumber :

- Al-Alusiy, Tasfir Ruhul Ma'aniy, surat Al-Kahfi, ayat 110, dan Jil. 9 hal. 5.

- As-Suyuthiy, Addurar Al-Muntatsarah, no. 133

- Al-Jami' Li Ahkam Al-Quran, Jil. 16, hal. 275

- Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir online, hal. 359.

- Bukhari, Shohih Bukhari, no/hal. 1218

- Ahmad, Musnad Ahmad, Jil. 4, hal.298

- Potongan Muhadaroh Syeikh Muhammad Al-Kattaniy dalam Pembahasan Tawassul

- Lajnah Fatwa Jordan, Murajaah Mufti Dr. Nuh Ali Salman, no fatwa. 512

Oleh: Ustadz Muhammad Zakaria Darlin

Demikian Artikel " Menyematkan Sayyidina Saat Menyebut Nabi Merupakan Bentuk Adab "

Semoga Bermanfaat

Wallahu a'lam Bishowab

Allahuma sholli 'alaa sayyidina muhammad wa 'alaa aalihi wa shohbihi wa salim

- Media Dakwah Ahlusunnah Wal Jama'ah -

Redaksi

Rumah Muslimin Grup adalah Media Dakwah Ahlusunnah Wal jama'ah yang berdiri pada pertengahan tahun 2017 Bermazhab Syafi'i dan berakidah Asyariyyah. Bagi sobat rumah-muslimin yang suka menulis, yuk kirimkan tulisannya ke email kami di dakwahislamiyah93@gmail.com

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama
close