Hukum Jual Beli Barang Dengan Syarat Akan Dibeli Kembali

HUKUM JUAL BELI BARANG DENGAN SYARAT AKAN DIBELI KEMBALI

RUMAH-MUSLIMIN.COM - Saat ini, banyak orang-orang yang melakukan transaksi jual-beli barang yang mereka tidak memperhatikan akad dan syariat di dalam islam. Menurut mereka hal tersebut tikda mengapa dilakukan selama itu ada kesepakatan antar kedua pihak.

Lalu bagaimana jika ada sebuah permasalahan menjual barang dengan syarat? berikut salah satu pertanyaannya :

Deskripsi Masalah

afwan mau tanya masalah بيع, kalau ngejual barang tapi pake syarat misalkan saya jual hp saya ke orang, Tetapi dengan syarat sebulan lagi akan saya beli lagi hp nya

Pertanyaan

1. Bagaimana hukum jual beli tersebut ?

2. Apakah ada perbedaan syarat yang dilakukan diluar akad sama di dalam akad ?

$ads={1}

Rumusan jawaban :

1. Dalam fiqih al-madzahibu al-arba’ah pun, para ulama menyebutnya dengan istilah yang berbeda.

Kalangan Syafi’iyah, disebut sebagai akad bai’ul ‘uhdah.

Kalangan Malikiyah, disebut sebagai akad bai’uts tsunya.

Kalangan Hanabilah, disebut sebagai akad bai’ul amanah.

Kalangan Hanafiyah, disebut sebagai akad bai’ul wafa’.

Perbedaan istilah fiqih di kalangan ulama madzhab ini tidak menyebabkan perbedaan makna akad.

Jadi hukum tentang baiul uhdah ( menjual dengan syarat akan dibeli kembali ) ada perbedaan pendapat ada yang memperbolehkan dan ada yang tidak.

a. Tidak boleh Menurut Kalangan Malikiyah dan Kalangan Hanabilah Kalangan Mutaqoddimin Hanafiyah dan Syafi’iyah

b. Boleh menurut Kalangan Mutaakhirin Hanafiyah dan Syafi’iyah dengan tanpa syarat atau disebut sebelum aqad meskipun didalam majelis aqad (Tidak boleh jika Syarat disebut didalam waktu aqad atau sesudah aqad dan masih dalam masa khiyar)

2. IDEM dengan jawaban no 1 sub b.

Referensi :

1. بغية المسترشدين للسيد باعلوي الحضرمي صحـ : 218 مكتبة دار الفكر

(مَسْأَلَةٌ ب) بَيْعُ اْلعُهْدَةِ اْلمَعْرُوْفُ صَحِيْحٌ جَائِزٌ وَتَثَبَتْ بِهِ الْحُجَّةُ شَرْعًا وَعُرْفًا عَلَى قَوْلِ اْلقَائِلِيْنَ بِهِ وَقَدْ جَرَى عَلَيْهِ اْلعَمَلُ فِى غَالِبِ جِهَاتِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ زَمَنٍ قَدِيْمٍ وَحَكَمَتْ بِمُقْتَضَاهُ الْحُكَّامُ وَاَقَرَّهُ مَنْ يَقُوْلُ بِهِ مِنْ عُلَمَاءِ اْلإِسْلاَمِ مَعَ أَنَّهُ لَيْسَ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِىِّ وَاِنَّمَا اِخْتَارَهُ مَنْ اِخْتَارَهُ وَلِفِقْهٍ مِنْ مَذَاهِب لِلضَّرُوْرَةِ الْمَاسَّةِ اِلَيْهِ وَمَعَ ذَلِكَ فَاْلإِخْتِلاَفُ فِى صِحَّتِهِ مِنْ أَصْلِهِ وَفِى التَّفْرِيْعِ عَلَيْهِ لاَيَخْفَى عَلَى مَنْ لَهُ إِلْمَامٌ بِاْلفِقْهِ

Masalah b. “Jual beli bertempo yang sudah terkenal itu hukumnya adalah sah dan boleh. Ini sudah bisa dijadikan ketetapan hujjah secara syara’ maupun secara urfi. Pendapat yang mengatakan kebolehan transaksi ini sudah berlangsung di banyak daerah kaum muslimin sejak zaman dulu dan sudah dinyatakan sebagai keputusan para ahli hukum dan diakui oleh mayoritas ulama. Pada dasarnya, persoalan ini bersumber dari bukan kalangan madzhab Syafi’i. Namun, pilihan hukum kebolehan transaksi oleh pengkaji fiqih dari beberapa madzhab, adalah bertemu berdasar cara pandang sifat dlarurat akad dan mendesak. Oleh karena itu, perbedaan dalam sah atau tidaknya akad berdasar dalil ashalnya, dan berdasar pemerinciannya, adalah bukan sesuatu yang mengkhawatirkan di kalangan orang yang sudah menguasai ilmu fiqih.”

وَصُوْرَتُهُ أَنْ يَتَّفَقَ الْمُتَبَايَعَانِ عَلَى أَنَّ الْبَائِعَ مَتَى أَرَادَ رُجُوْعَ الْمَبِيْعِ إِلَيْهِ أَتَى بِمِثْلِ الثَّمَنِ الْمَعْقُوْدِ عَلَيْهِ وَلَهُ أَنْ يُقَيِّدَ الرُّجُوْعَ بِمُدَّةٍ فَلَيْسَ لَهُ الْفَكُّ إِلا بَعْدَ مُضِيِهَا ثُمَّ بَعْدَ الْمُوَاطَأَةِ يَعْقِدَانِ عَقْداً صَحِيْحاً بِلا شَرْطٍ

Gambaran dari [akad bai’ul ‘uhdah] ini adalah kedua pihak penjual dan pembeli telah bersepakat apabila penjual sewaktu-waktu ingin menarik kembali barang yang telah dijual maka ia harus menyerahkan harga umumnya (tsaman mitsil-nya) ia boleh membatasi untuk penarikan kembali barang yang sudah dijual itu dengan suatu masa tertentu sehingga ia tidak boleh lepas kecuali telah melewati masa itu, kemudian setelah terjadi serah terima kedua penjual dan pembeli itu melakukan transaksi dengan transaksi yang sah tanpa ada satu syarat.

إِذْ لَوْ وَقَعَ شَرْطُ الْعُهْدَةِ الَمْذَكُوْرِ فِي صَلْبِ الْعَقْدِ أَوْ بَعْدَهُ فِي زَمَنِ الْخِيَارِ أَفْسَدَهُ فَلْيَتَنَّبَهْ لِذَلِكَ فَإِنَّهُ مِمَّا يَغْفُلُ عَنْهُ ثُمَّ إِذَا انْعَقَدَ الْبَيْعُ الْمَذْكُوْرُ فَلِلْمُتَعَهِّدِ وَوَارِثِهِ التَّصَرُّفُ فِيْهِ تَصَرُّفَ الْمُلاكِ بِبَيْعٍ وَغَيْرِهِ وَلَوْ بِأَزْيَدَ مِنَ الثَّمَنِ الأَوَّلِ

Karena jika syarat ‘uhdah tersebut terjadi didalam aqad atau setelah aqad dalam masa khiya

maka syarat tersebut dapat merusak aqad, Oleh karenya ingatlah hal tersebut yang sering terlupakan. Kemudian jika aqad jual beli ‘uhdah tersebut sudah sah maka bagi pembeli dan ahli warisnya boleh menggunakan mabi’ sebagaimana kepemilikan lainnya walaupun dengan nilai yang lebih tinggi

فَإِذَا أَرَادَ الْمُعَهِّدُ الْفَكَّ أَتَى بِمِثْلِ مَا بَذَّلَهُ لِلْمُتَعَهِّدِ وَيَرْجِعُ هَذَا الْمُتَعَهِّدُ عَلَى الْمُتَعَهَّدِ مِنْهُ فَيُبَذِّلُ لَهُ مِثْلَ مَا وَقَعَ عَلَيْهِ الْعَقْدُ بَيْنَهُمَا وَيَفْسَخُ عَلَيْهِ ثُمَّ يَفْسَخُ هُوَ عَلَى الْمُعَهَّدِ الأَوَّلِ وَوَارِثُ كُلٍّ كَمُوَرِّثِهِ

Jika penjual ingin menarik Kembali barangnya maka bagi penjual cukup membeli sesuai dengan harga waktu menjualnya dan wajib bagi pembeli dan ahli warisnya menyerahkan barang yang dijual oleh pembeli sebagaimana perjanjian awal yang telah disepakati.

$ads={2}

2. Tarsyih al-Mustafidin ( h. 226.)

تَنْبِيْهٌ) اعْلَمْ أَنَّ بَيْعَ الْعُهْدَةِ الشَّهِيْرَ بِحَضَرَ مَوْتَ الْمَعْرُوْفَ فِيْ مَكَّةَ الْمُكَرَّمَةِ بِبَيْعِ النَّاسِ وَبَيْعِ عُدَّةٍ وَأَمَانَةٍ صَحِيْحٌ إِذَا جَرَى مِنْ مُطْلَقِ التَّصَرُّفِ فِيْ مَالِهِ وَلَمْ يُذْكَرْ الْوَعْدُ فِيْهِ فِيْ نَفْسِ الْعَقْدِ وَلاَ ذِكْرَ بَعْدَهُ فِيْ زَمَنِ الْخِيَارِ، وَصُوْرَتُهُ كَمَا فِيْ فَتَاوِى ابْنِ حَجَرٍ أَنْ يَتَّفِقَا عَلَى بَيْعِ عَيْنٍ بِدُوْنِ قِيْمَتِهَا عَلَى أَنَّ الْبَائِعَ مَتَى جَاءَ بِالثَّمَنِ رَدَّ الْمُشْتَرِى عَلَى مَبِيْعِهِ وَأَخَذَ ثَمَنَهُ ثُمَّ يُعْقِدَانِ عَلَى ذَلِكَ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَشْتَرِطَاهُ فِيْ صُلْبِ الْعَقْدِ إِلَى أَنْ قَالَ وَإِنْ وَقَعَ خَارِجَ الْعَقْدِ لَزِمَ الْمُشْتَرِى مَا الْتَزَمَهُ وَوَعَدَ بِهِ وَيَجِبُ عَلَيْهِ عِنْدَ دَفْعِ الْبَائِعِ الثَّمَنَ فِي الْوَقْتِ الْمَشْرُوْطِ إِيْقَاعُ الْفَسْخِ وَقَبْضُ الثَّمَنِ.

Ketahuilah! bahwa jual beli bertempo yang terkenal di Hadhramaut dan populer di Mekkah dengan sebutan bai’ al-nas, bai’ ‘uddah wa amanah adalah sah jika berlangsung dari muthlaq al-tasharruf (orang yang boleh membelanjakan hartanya secara mutlak) dan perjanjian tersebut tidak disebutkan dalam akad dan setelahnya, yakni dalam masa khiyar.

Bentuknya sebagaimana yang diterangkan dalam kitab Fatawa Ibn Hajar, kedua belah pihak (penjual dan pembeli) sepakat untuk menjual sesuatu, dengan catatan jika si penjual kelak datang kembali dengan (membawa uang) senilai barang yang telah dijualnya, maka si pembeli harus mengembalikan barang tersebut dan mengambil kembali uang penjualan semua. Kemudian keduanya melakukan transaksi tanpa mensyaratkan (penjualan kembali barang yang sudah dijual tersebut kepada si penjual) pada waktu akad …

Jika kesepakatan itu terjadi di luar akad, maka si pembeli harus menepati kesanggupan dan janjinya, dan ketika si penjual memberikan kepada si pembeli nilai harga pada waktu yang disyaratkan, maka si pembeli harus membatalkan akad jual belinya dan menerima harga (uang dari si penjual).

3. تحفة المحتاج 4/296

(تنبيه) وقع لكثيرين من علماء حضرموت في بيع العهدة المعروف في مكة ببيع الناس آراء واضحة البطلان لا تتأتى على مذهبنا بوجه لفقوها من حدسهم تارة ومن أقوال في بعض المذاهب تارة أخرى مع عدم إتقانهم لنقلها فيجب إنكارها وعدم الالتفات إليها والحاصل أن كل شرط مناف لمقتضى العقد إنما يبطل إن وقع في صلب العقد أو بعده وقبل لزومه لا إن تقدم عليه ولو في مجلسه كما يأتي.

4. الموسوعة الفقهية الكويتية ,9/49

بيع الوفاء: هو البيع بشرط أن البائع متى رد الثمن يرد المشتري المبيع إليه؛ لأن المشتري يلزمه الوفاء بالشرط. وإنما أطلق عليه (بيع الأمانة) عند من سماه كذلك من القائلين بجوازه لأن المبيع بمنزلة الأمانة في يد المشتري، لا يحق له فيه التصرف الناقل للملك إلا لبائعه، ويسميه المالكية " بيع الثنيا " والشافعية " بيع العهدة " والحنابلة " بيع الأمانة ".

وقد ذهب المالكية والحنابلة، والمتقدمون من الحنفية، والشافعية إلى: أن بيع الوفاء فاسد. وذهب بعض المتأخرين من الحنفية والشافعية إلى جوازه.

وذهب بعض الحنفية أيضا إلى أن بيع الوفاء رهن، ويثبت له جميع أحكامه . وللتفصيل انظر مصطلح (بيع الوفاء)

5. Kitab Fatawa Imam haromain Hal 149

والحاصل ان كل شرط مناف لمقتضى العقد انما يبطل ان وقع في صلب العقد او بعده وقبل لزومه لا ان تقدم عليه ولو في مجلسه اهـ.

6. Nihayatul muhtaj Juz 11 Hal 409 – 410

وَإِنَّمَا جَرَى الْخِلَافُ فِي صُورَةِ الْمَتْنِ ؛ لِأَنَّ الْعَمَلَ فِي الْمَبِيعِ وَقَعَ تَابِعًا لِمَبِيعِهِ فَاغْتُفِرَ عَلَى مُقَابِلِ الْأَصَحِّ الْقَائِلِ إنَّ فِيهِ جَمْعًا بَيْنَ بَيْعٍ وَإِجَارَةٍ ، وَقِيلَ يَبْطُلُ الشَّرْطُ ، وَفِي الْبَيْعِ قَوْلَا تَفْرِيقِ الصَّفْقَةِ ، وَلَوْ اشْتَرَى حَطَبًامَثَلًا عَلَى دَابَّةٍ بِشَرْطِ إيصَالِهِ مَنْزِلَهُ لَمْ يَصِحَّ وَإِنْ عَرَفَ الْمَنْزِلَ ؛ لِأَنَّهُ بَيْعٌ بِشَرْطٍ ، وَإِنْ أَطْلَقَ صَحَّ الْعَقْدُ وَلَمْ يُكَلَّفْ إيصَالَهُ مَنْزِلَهُ وَلَوْ اُعْتِيدَ بَلْ يُسَلِّمُهُ لَهُ فِي مَوْضِعِهِ . وَالْحَاصِلُ مِنْ كَلَامِهِمْ أَنَّ كُلَّ شَرْطٍ مُنَافٍ لِمُقْتَضَى الْعَقْدِ إنَّمَا يُبْطِلُهُ إذَا وَقَعَ فِي صُلْبِهِ أَوْ بَعْدَهُ وَقَبْلَ لُزُومِهِ ، بِخِلَافِ مَا لَوْ تَقَدَّمَ عَلَيْهِ وَلَوْ فِي مَجْلِسِهِ كَمَا سَيَأْتِي ، وَحَيْثُ صَحَّ لَمْ يُجْبَرْ عَلَى فَسْخِهِ بِوَجْهٍ

Demikian Artikel " Hukum Jual Beli Barang Dengan Syarat Akan Dibeli Kembali "

Semoga Bermanfaat

Wallahu a'lam Bishowab

Allahuma sholli 'alaa sayyidina muhammad wa 'alaa aalihi wa shohbihi wa salim

- Media Dakwah Ahlusunnah Wal Jama'ah -

Redaksi

Rumah Muslimin Grup adalah Media Dakwah Ahlusunnah Wal jama'ah yang berdiri pada pertengahan tahun 2017 Bermazhab Syafi'i dan berakidah Asyariyyah. Bagi sobat rumah-muslimin yang suka menulis, yuk kirimkan tulisannya ke email kami di dakwahislamiyah93@gmail.com

2 Komentar

  1. Alhamdulillah makasih ustadz kebetulan saya juga ada tugas yg membahas tentang bai'ul uhdah syukuran jazilan...

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama
close