Marah Dalam Islam: Pengertian, Tingkatan dan Cara Meredakannya

MARAH DALAM ISLAM: PENGERTIAN, TINGKATAN DAN CARA MEREDAKANNYA

RUMAH-MUSLIMIN.COM - Secara Bahasa :

~Menurut Kamus al Munawir, Yakni اَلْغَيْظَ atau الغضب, yang berarti kemarahan. 

~Menurut KBBI, pengertian Marah adalah perasaan tidak senang karena diperlakukan tidak sepantasnya.

Dalam kitab Al Ihya' Ulumuddin, marah adalah sekam 

yang tersimpan dalam hati, seperti terselipnya bara di balik abu. Boleh jadi ia merupakan api yang darinya, syaitan diciptakan.

Secara bahasa Kata غضب terambil dari kata gha - dha- ba – yang, ب ,ض ,غ huruf-huruf dengan berakar يَغْضَةُ- غَضْبَا 'ba mengandung makna dasar Keras. 

Menurut Bapak Habib Quraish Shihab, المغضوب berasal dari kata  غضب memberikan makna kesan Keras, Kokoh dan Tegas. Sikap itu bila diperankan oleh manusia dinamai Emosi Amarah. Akan tetapi, bila diperankan oleh Allah Swt, walaupun Ghodob diterjemahkan dengan amarah atau murka, namun makna yang dimaksudkan adalah Irodah/kehendak-Nya untuk melakukan tindakan tegas dan keras  berupa siksaan. 

Dengan kata lain, ghodob di sisi Allah ialah kehendaknya memberi hukuman kepada orang yang bersalah. Jadi, murka Allah adalah siksa atau ancaman siksa-Nya.

Marah merupakan antonim ( lawan makna ) dari hilm (murah hati). Amarah selalu mendorong umat manusia bertingkah buruk dan jahat. Apabila takluk terhadap luapan amarahnya, seseorang bisa saja menyakiti orang–orang terdekatnya.

Pada umumnya, emosi marah pada manusia dikenali 

melalui perubahan raut muka (merah padam), nada suara berat, cemberut, nafas yang terengah-engah, anggota badan bergetar, atau siap menyerang.

Tanda-tanda ini tidak selalu sama pada setiap orang. Ada kalanya orang sangat marah tapi ngga menunjukkan agresivitas tinggi atau pas ia marah, gejalanya sengaja ditutupi karena alasan tertentu.

Marah juga termasuk hal yang menjauhkan kesabaran dan bertolak belakang dengannya. Karena sabar merupakan senjata ampuh bagi orang yang selalu melakukan kebaikan di jalan Allah

Marah adalah fitroh manusia. Tapi ngga semua marah itu buruk atau tercela. Marah ketika kebenaran dilecehkan adalah marah yang produktif bahkan wajib. 

$ads={1}

Sayyidina Ali karomahullahuwajhah : “Rasulullah ﷺ gak pernah Marah dalam urusan dunia. Jika beliau marah oleh kebenaran (yang dilecehkan), maka gak seorang pun mengenalinya dan berani berdiri karna amarahnya sampai beliau memperoleh pertolongan dari Allah.” (HR.Thobroni)

Marah dalam konteks ini pernah juga terjadi pada riwayat sohabat. Suatu ketika, Sayidina Abu Bakar marah kpd Sayidina Umar yang membujuknya untuk membatalkan pengangkatan Sayidina Usamah bin Zaid sebagai panglima perang. Tapi, karna pengangkatan Usamah itu dilakukan oleh Nabi ﷺ, maka Sayidina Abu Bakar gak mau nerima usulan Sayidina Umar. 

Dan, ketika Sayidina Umar mendesak terus-menerus, Sayidina Abu Bakar langsung bilang : “Apakah engkau menyuruhku untuk mengubah keputusan Rasulullah ﷺ ?” 

Ya, Marah tetap perlu, tapi konteksnya adalah dalam iman dan kebenaran. 

Marah yang tercela itu adalah yang dilampiaskan secara berlebihan kemudian terjadi hanya karna hal-hal yang tidak begitu penting. Seperti marah karena istri telat nyediain makan, Istri yang marah perkara duit belanja yang kurang, atau Guru yang marah karna murid tidak bisa mengerjakan tugas sesuai keinginan guru, dan lain sebagainya. Ini jelas bukan marah yang berkualitas. 

Ibunda kami pernah marah pada anak-anaknya hanya tentang kebendaan. Seperti piring pecah, motor rusak karena jatuh, atau apapun. Tetapi beliau sangat marah besar ketika ada di antara anak-anaknya yang berkata kotor dan menyakiti orang lain. 

Betapa banyak di sekeliling kita, orang marah di luar konteks bahkan terkadang sangat berlebihan?. 

“Sudah sarjana, tapi packing barang saja tidak becus?” demikian salah satu contoh sikap berlebih-lebihan dalam kata-kata saat marah. Padahal gelar sarjana nya gak salah, yang salah hanyalah tehnik ngepacking barang nya. 

Marah dalam konteks keduniawian menjadikan setan semakin mudah menguasai hati seseorang. Karna, marah yang bukan suatu kebenaran itu datangnya dari syaitan. 

Sekali waktu Sayidati 'Aisyah radhiyallahu anha pernah marah. Lalu Rasulullah ﷺ bertanya, 

“Setanmu telah merasukimu?” Aisyah balik bertanya, “Apakah engkau juga punya setan, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ya, saya juga. Tetapi saya berdoa kepada Allah dan Allah pun menolongku sehingga aku pun selamat dan tidak memerintah kecuali hanya kebaikan.” (HR.Muslim)

Imam Al Ghozali di kitab Al Ihya menuliskan, bahwa "Marah adalah api yang bersemayam dalam hati yang dapat menimbulkan kesombongan, yang boleh jadi, kesombongan itu berasal dari api yang digunakan untuk menciptakan Syaitan." 

Imam Ibnu Hajar Al Asqolani sebagaimana dikutip oleh Dr. Anas Ahmad Karzon dalam bukunya "Tazkiyatun Nafs" mengatakan bahwa "Marah dalam hal keduniawian yang dilampiaskan secara berlebihan akan mendatangkan kesombongan yang berujung pada kemarahan, dendam, dan dengki. Sementara itu, dampak bagi lisan, akan mendorong seseorang berkata kotor dan murahan. 

Maka jika ada sebuah kejadian yang membuat kita, sementara diri dalam kebenaran dan megang kendali permasalahan, sebaiknya tenangkan diri dulu, diem bentar dan perbanyak istighfar. Jika tidak, maka nafsu akan menguasai hati dan boleh jadi, lisan akan berkata-kata kotor dan murahan yang bisa menimbulkan permusuhan dan pada akhirnya akan sangat disesali hingga akhir hayat. 

Maka Rasulullah ﷺ bersabda bahwa, “ Orang yang kuat adalah orang yang sanggup mengendalikan hawa nafsunya ketika marah.” (HR.Muslim)

Oleh karena itu, pas ada sahabat yang meminta wasiat kepada Nabi ﷺ, belliau mengatakan, “Jangan marah, jangan marah, dan jangan marah.” (HR.Bukhori)

Tingkatan Marah 

Di kitab Al Ihya Ulumuddin, Imam Ghozali membagi marah dalam tiga tingkatan. 

- Pertama, manusia yang tafrith (kekurangan), yaitu manusia yang kehilangan potensi amarah dan emosinya (sehingga gak bisa marah). 

Kelompok manusia yang tafrith ini adalah tercela, dan inilah yang dimaksud dalam ungkapan Imam Syafi'i yang diriwayatkan Imam Baihaqi : 

“Barangsiapa yang sengaja dibuat marah, namun tidak marah maka ia adalah himar (keledai)”. 

- Kedua, manusia yang memiliki emosi yang seimbang, tidak terlalu lemah dan tidak terlalu ekstrim amarahnya. Sifat seperti inilah yang disematkan Allah kpd para sahabat, sebagaimana dibuktikan dalam Quran : 

محمد رسول الله والذين معه أشداء على الكفار رحماء بينهم 

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. ” (QS.48:29). 

- Ketiga, manusia yang ifrath (serba berlebihan), yaitu manusia yang amarahnya melampaui batas dari kendali akal dan agama. Orang semacam ini tidak dapat berfikir jernih, bahkan terkesan ia seperti orang terpaksa. Selalu berkata-kata kotor dan nebar fitnah serta cerita kebohongan. 

Artinya, jika pun harus marah, maka marahlah dengan wajar, tidak berlebihan dan jangan sampai mendorong lisan berkata buruk, disertai tindakan ekstrem yang melampaui batas akal dan agama. Karena marah termasuk hal yang positif selamat tidak keluar dari kaidah iman dan kebenaran. 

$ads={2}

Meredakan Kemarahan 

Terus gimana jika suatu saat, tiba-tiba muncul situasi yang diluar dugaan dan memancing emosi untuk marah? 

Nabi Muhammad ﷺ telah memberi pesan : 

“Marah adalah batu yang dinyalakan dalam hati. tidakkah kalian melihat menggelembungnya urat leher dan memerahnya kedua mata orang yang sedang marah? Jika salah satu dari kalian mengalami kondisi seperti itu, maka jika ia sedang berdiri, duduklah dan jika sedang duduk, rebahan lah. Jika amarah itu belum hilang juga, maka berwudhulah dengan air dingin dan mandilah karena api tidak dapat dipadamkan kecuali dengan Air.” (HR.Tirmidzi)

Maksudnya, kita nggak boleh kepancing emosi dan berbicara atau bertindak atas dorongan dorongan kemarahan. Segeralah ubah posisi tubuh untuk pikiran dan hati. Jika ternyata posisi tubuh tidak mampu mengubah gejolak hati, segeralah berwudhu atau mandi. Dengan begitu Insya Allah kita dapat mengontrol hati kita dan terhindar dari tindakan bodoh, sehingga bisa lebih bijaksana dan lebih siap untuk memberi maaf. 

Jika kemudian memberi maaf menjadi pilihan utama, sungguh kita termasuk hamba yang berhak atas cinta dari Allah Subhanahu Wata'ala berfirman : 

الذين السراء الضراء الكاظمين الغيظ العافين الناس الله المحسنين 

“….dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan manusia. Dan sungguh, Allah mencintai orang-orang yang ihsan.” (QS.Ali Imron [3]: 134). 

Dengan demikian, sudah seharusnya setiap Muslim tidak menjadi objek Nafsu, sehingga hati dan akal dipermainkan oleh kesombongan  yang berakibat pada putus persaudaraan, permusuhan, dan dendam. 

Tetapi sebaliknya, menghidupkan hati dengan suka memaafkan. Karena siapa memaafkan ia pasti dicintai oleh Allah Subhanahu Wata'ala. Tidakkah kita bangga jika Allah mencintai kita? 

Kata Nabi  ﷺ , “Orang baik adalah yang tidak mudah marah dan memaafkan, sedangkan orang buruk adalah yang cepat marah dan lambat memaafkan.” (HR.Ahmad)

Oleh: Adam Mostafa EL Prembuny

Demikian Artikel " Marah Dalam Islam: Pengertian, Tingkatan dan Cara Meredakannya "

Semoga Bermanfaat

Wallahu a'lam Bishowab

Allahuma sholli 'alaa sayyidina muhammad wa 'alaa aalihi wa shohbihi wa salim

- Media Dakwah Ahlusunnah Wal Jamaah -

Redaksi

Rumah Muslimin Grup adalah Media Dakwah Ahlusunnah Wal jama'ah yang berdiri pada pertengahan tahun 2017 Bermazhab Syafi'i dan berakidah Asyariyyah. Bagi sobat rumah-muslimin yang suka menulis, yuk kirimkan tulisannya ke email kami di dakwahislamiyah93@gmail.com

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama
close