Waspada Kitab Tafsir Yang Disusupi Ikhwanul Muslimin dan Salafi

WASPADA KITAB TAFSIR YANG DISUSUPI IKHWANUL MUSLIMIN DAN SALAFI

RUMAH-MUSLIMIN.COM - Syekh Usamah Sayyid Al-Azhari dalam Seminar Internasional di Pascasarjana Uin Ar-Raniry dengan judul “Strategi Pembelajaran Tafsir Alquran di Era Modern; Peluang dan Tantangan” menjelaskan beberapa contoh kitab tafsir yang disusupi pemikiran radikal Ikhwanul Muslimin dan Salafiyah, atau kitab tafsir yang dibangun atas pondasi filsafat barat. Kitab tafsir yang disusupi pemikiran radikal adalah seperti kitab Fi Zhilalil Quran karya Sayyid Kutub yang menurut Ahmad Al-Kumi tidak layak disebut sebagai kitab tafsir, begitu juga kitab tafsir surat An-Nur yang ditulis oleh Abu A’la Al-Maududi. Sementara kitab tafsir yang dibangun atas teori filsafat yang juga menjadi tantangan bagi kita adalah kitab tafsir yang ditulis oleh Muhammad Syahrur, Muhammad Adeb Al-Jabiri, Hasan At-Turabi, dan semisalnya.

Di bawah ini merupakan terjemahan dari apa yang disampaikan oleh أسامة السيد الأزهري Usama Elsayed Alazhary , dimana dalam menulis terjemahan ini saya fokus pada teks Arab asli yang disampaikan oleh Syekh Usamah:

Para ulama menyampaikan bahwa Abdullah bin Abbas pada suatu waktu menyampaikan khutbah, yang di dalam khutbah tersebut beliau membaca surat Al-Baqarah atau surat Al-Nur, (dalam hal ini terdapat perbedaan riwayat). Ibnu Abbas kemudian menafsirkan surat tersebut. Perawi yang mendengar khutbah dan hadir di tempat itu berkata bahwa Ibnu Abbas menafsirkan surat tersebut dengan cara tafsir dimana jika didengarkan oleh bangsa Turki dan Romawi, mereka akan memeluk Islam. Strategi penafsiran Alquran kembali pada ungkapan ini.

Kami ingin agar para Mahasiswa yang mengambil jurusan tafsir untuk mempelajari tafsir Alquran dan menyuguhkannya kepada masyarakat, dengan bentuk penafsiran yang jika didengar oleh manusia seluruhnya, mereka akan masuk Islam. Hal ini dikarenakan Alquran datang sebagai hidayah dan khitab untuk seluruh alam semesta. Maka bagaimana caranya kita berusaha untuk menafsirkan Alquran yang menampakkan sisi khitab dan hidayah Alquran kepada alam semesta. 

Sayyiduna Abdullah bin Abbas adalah seorang Sahabat yang mulia, yang didoakan Nabi SAW, yang dalam doa itu Nabi berkata;

اللهم فقهه في الدين وعلمه التأويل 

"Ya Allah berikan kepadanya pemahaman tentang agama, dan ajarkan kepadanya tafsir."

Maka Allah memberikan futuh (pencerahan) kepada Ibnu Abbas dan mengajarkan kepadanya tafsir yang jika didengar oleh bangsa Turki dan Romawi di zamannya, mereka akan memeluk agama Islam. Maka ini adalah tujuan besar dan capaian puncak yang mungkin dinamakan sebagai stategi penafsiran Alquran.  Bagaimana kita mungkin mengupayakan agar strategi yang besar ini mampu dipraktekkan ketika mempelajari tafsir Alquran. Lebih-lebih lagi, kita sedang menghadapi tantangan besar di zaman ini, disamping juga peluang yang besar.

Di antara tantangan yang besar adalah masuknya orang-orang yang tidak memiliki kapasitas dan tidak menguasai alat-alat yang dibutuhkan untuk tafsir, atau mereka yang memiliki kelengkapan alat untuk melakukan tafsir, tetapi paradigma berpikirnya melenceng dengan sebab berafiliasi dengan kelompok menyimpang dalam Islam. 

$ads={1}

Saya memberi contoh seperti Imam Zamakhsyari dengan tafsirnya yang bernama Al-Kasysyaf. Imam Zamakhsyari memiliki kapasitas keilmuan yang sangat tinggi, beliau merupakan imam dalam bidang balaghah (sastra Arab). Beliau merupakan imam dalam bidang bahasa. Beliau memiliki ilmu yang luas sekali. Beliau sosok yang memiliki banyak penemuan dalam ilmu pengetahuan, akan tetapi beliau berafiliasi kepada kelompok Mu'tazilah. Maka Al-Zamakhsyari menjadikan tafsir dan ilmunya yang seharusnya menampakkan Alquran sebagai hidayah bagi semesta, tetapi malah digunakan sebagai semangat untuk menyokong pemikiran Mu'tazilah. 

Tafsir ini mengandung unsur sastra yang tidak ada bandingan pada keindahannya dalam penafsiran Alquran, akan tetapi secara senyap dan sembunyi, Al-Zamakhsyari menyisipkan dalam celah tafsirnya yang sarat dengan nilai sastra, hal-hal yang menyokong pemahaman Mu'tazilah yang ia condong padanya. Maka ini menjadi tantangan yang besar. Oleh karena itu, para Ulama melakukan beberapa amalan ilmiah. Dalam hal ini, muncul Ibn al-Munayyar al-Sakandari, yang menulis suatu kitab yang mengkritisi kitab al-Kasysyaf, menjelaskan kesalahannya, dan juga menambah beberapa pembahasan-pembahasan baru yang penting. Hal ini menunjukkan bahwa Imam Ibn al-Munayyar telah memasuki medan pertempuran ilmiah, sehingga beliau menghadapi tantangan yang ada di masanya dalam ilmu tafsir. Ibn al-Munayyar menamakan kitabnya dengan nama Al-Intishaf min al-Kasysyaf (Jalan Tengah dari Kitab al-Kasysyaf), yaitu mencabut timbangan yang adil dari tafsir Al-Kasysyaf. Selain itu, banyak kitab lainnya yang berusaha mendiskusikan dan mengkritisi kitab al-Kasysyaf karangan Al-Zamakhsyari. Ini merupakan contoh kontribusi para Ulama umat menghadapi tantangan dalam bidang tafsir Alquran. Masih banyak contoh lain yang tidak mungkin dijelaskan dalam kesempatan yang singkat. 

Pada masa sekarang, kita melihat banyak bermunculan kitab-kitab tafsir. Di antaranya kitab tafsir al-Imam al-Kabir, Syaikh Mutawally Sya'rawi yang merupakan mufassir terbesar zaman ini dan kitabnya menjadi pegangan (mu'tamad). Beliau merupakan ulama kontemporer yang paling sukses menyajikan tafsir untuk dapat dikonsumsi oleh manusia secara umum. Majelis-majelis tafsir beliau kemudian ditulis menjadi buku setebal 25 jilid. Di Mesir sudah ada yang berupaya menerjemahkan tafsir beliau dalam bahasa Inggris. Demikian juga kitab tafsir yang bernama At-Tahrir wat Tanwir, karangan Imam Ibnu Asyur dari Tunisia. Ini beberapa contoh kitab tafsir yang dapat dijadikan rujukan, yang telah berupaya menyempurnakan ilmu tafsir dengan cara yang paling sempurna. 

Di samping itu, di masa kontemporer terdapat dua jenis tafsir lain yang menjadi problema dan tantangan besar. Salah satunya kitab tafsir yang dikarang oleh mereka yang berafiliasi kepada kelompok radikal. Mereka menjadikan pandangan Ikhwanul Muslimin atau paham radikal Salafiyah terselip secara sembunyi dalam kitab tafsir. Sebagai contoh kitab Fi Zhilal al-Qur’an karangan Sayyid Qutub, dalam 6 jilid yang besar. Begitu juga kitab tafsir surat al-Nur karangan Abu al-A'la al-Maududi.

Saya akan memberikan contoh tantangan dari dua kitab tafsir tersebut. Sayyid Qutub dalam kitab Fi Zhilalil Quran membangun satu teori yang berujung kepada menafsirkan kaum Muslimin seluruhnya. Ia menyebutkan 6 sebab yang dijadikan sebagai pondasi untuk mengkafirkan kaum Muslimin seluruhnya di permukaan bumi. Kemudian ia belum merasa cukup dengan mengkafirkan seluruh kaum Muslimin, hingga ia ikut mengkafirkan para leluhur yang sudah meninggal dunia. Karena itulah ia mengemukakan suatu teori yang benar-benar sangat aneh. Ia berkata:

الحقيقة المرة التي يجب الجهر بها هي أن هذا الدين قد انقطع عن الوجود قبل قرون

"Kenyataan pahit yang mesti diungkapkan adalah sesungguhnya agama ini telah hilang eksistensinya sejak beberapa abad yang lalu."

Maksudnya, menurut Sayyid Qutub umat Islam telah menjadi kafir semenjak 500 tahun yang lalu. Padahal umat Islam merupakan umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia. Nabi Saw berkata;

والله لا أخشى عليكم الشرك من بعدي 

"Demi Allah, Aku tidak khawatir Kalian akan syirik setelahku..."

Seandainya agama ini telah hilang eksistensinya sejak ratusan abad yang lalu, maka sungguh umat ini membutuhkan Nabi yang baru, sedangkan kenabian sudah berakhir seiring diutusnya Nabi Muhammad. 

Kitab Sayyid Qutub ini setebal 6 jilid telah diterjemahkan ke dalam sekitar 30 bahasa. Ini merupakan tantangan yang sangat besar. Tafsir yang mirip dengan itu adalah tafsir surat Al-Nur karangan Abu A'la Al-Maududi. Selain tafsir yang besar, kemudian bermunculan juga tafsir-tafsir untuk ayat-ayat tertentu. Dalam tafsir mereka terdapat penyelewengan yang besar atas maksud Alquran.

Di Mesir, ada salah seorang ulama besar di Al-Azhar, pada suatu hari beliau mengungkapkan satu kalimat yang mengherankan tentang kitab Fi Zhilalil Quran. Beliau adalah seorang guru besar, bernama Ahmad Al-Kumi. Beliau adalah guru dari para guru-guru kami. Guru-guruku belajar darinya. Ada seorang guru kami yang tunanetra, yang mengajar di Fakutas Ushuluddin. Dengan kecerdasannya beliau menghafal apa yang disampaikan oleh Syaikh Ahmad Al-Kumi. Ketika pulang ke rumah, guru kami yang tunanetra ini mendikte materi pelajaran untuk ditulis oleh orang yang membersamainya, dimana setiap kali belajar tidak kurang catatannya dari 25 halaman. Kemudian guruku bercerita bahwa setelah itu beliau mempelajari materi itu dari kitab-kitab tafsir dalam jumlah yang banyak, maka beliau mendapat bahwa gurunya Al-Kumi menyampaikan sebagian pemahaman yang mendalam yang tidak ditemukan dalam tafsir manapun. Pemahaman yang dalam yang tidak ditemukan dalam tafsirnya Fakhrurrazi, tidak ada Tafsir al-Qurthubi, tidak ada dalam tafsir Al-Alusy. Maka Guruku ini pada satu hari menjumpai Syekh Ahmad Al-Kumi dan bertanya, " Wahai Ustaz, Engkau menjelaskan pemahaman yang halus, sementara hal itu tidak terdapat dalam kitab-kitab tafsir. Maka apa sebenarnya pembelajaran dan metode yang membantumu untuk sampai pada level ini dalam menafsirkan Alquran?", Saat itu Al-Kumi sangat marah, kemudian beliau berteriak dan mengatakan; "Tidakkah diperdapatkan futuh dari Allah? Setelah seorang pelajar mempelajari secara mendalam ilmu tafsir, Allah membuka kepadanya pemahaman".

Syekh Ahmad Al-Kumi ini ketika melihat kitab tafsir Fi Zhilalil Quran mengucapkan satu kalimat yang unik. Beliau berkata bahwa kitab Fi Zhilalil Quran adalah kitab yang tidak layak dan pantas disebut sebagai kitab tafsir. Kenapa demikian? Karena pengarangnya tidak memiliki alat kelengkapan untuk masuk dalam dunia tafsir. Maka karena itu, tidak boleh tidak seorang yang berkonsentrasi belajar ilmu tafsir untuk memandang penting alat-alat yang diperlukan untuk melakukan tafsir.

Imam Jalaluddin Al-Suyuthi dalam kitab beliau yang agung yang bernama al-Itqan fi Ulumil Quran, membuat satu bab dalam kitanya yang berjudul Adawat al-Mufassir (Peralatan para Mufassir). Di antara alat yang sangat penting adalah ilmu Balaghah, kemudian ilmu nahwu dan sharaf, karena Alquran diturunkan dalam bahasa Arab. di antara alat penting yang dibutuhkan oleh mufassir adalah ilmu Ushul Fiqh. Ilmu ini sangat penting sekali bagi para mufassir (kata jiddan disebut 5 kali oleh Syekh Usamah). Ilmu Ushul Fiqh merupakan ilmu yang sangat penting bagi seorang mufassir. Kemudian juga ilmu-ilmu syariat yang lain,yang menjadi kunci untuk membuka gudang kekayaan kandungan Alquranul Karim.

Kemudian ada juga jenis kedua dari kitab tafsir yang menjadi tantangan, yaitu kitab-kitab penafsiran modern. diantaranya kitab yang ditulis oleh Muhammad Syahrur, kemudian kitab yang ditulis oleh Qasim Hajj Hamad, Kitab Karya Hasan at-Turabi yang berjudul at-Tafsir at-Tauhidi lil Quranil Karim, dan juga beberapa pentafsir modern lainnya yang membangun tafsir mereka atas teori Al-Binyawiyyah dan al-Tafkikiyyah (strukturalisme dan dekonstruksi). Mereka juga membangun teori tafsir yang dikenal istilah Hermenetika. Maka wajib bagi orang yang terjun dalam dunia tafsir untuk memahami aliran-aliran seperti ini. Demikian juga  dengan tafsir-tafsir yang lain.

Satu hal yang penting saya sampaikan, bahwa  bahwa pembahasan kita ada kaitannya dengan pribadi, apakah itu Sayyid Qutub, Muhammad Syahrur atau siapa saja, kita tidak ada masalah dengan pribadi mereka. Mereka mereka semuanya sudah berada di negeri yang sesungguhnya di hadapan Allah SWT. Tetapi kita memandang penting untuk membahas metode yang mereka gunakan dalam menafsirkan Alquran. Metode itulah yang kita letakkan dalam timbangan ilmiah untuk dilihat secara jelas, teliti dan hati-hati. Lebih-lagi lagi, teori yang dibangun oleh Muhammad Syahrur, Muhammad Abid Al-Jabiri, dan Hasan At-Turabi dibangun atas pondasi kaidah-kaidah filsafat yang mesti dipelajari.

Di sana juga terdapat teori yang dibangun oleh pemikir Perancis, Jacques Derrida. Ia menggagas suatu teori tentang bagaimana cara berinteraksi dengan nash. Ada juga pemikir yang bernama De Saussure, yang membangun teori tentang membaca teks. Teori ini merupakan tantangan besar dalam penafsiran Alquran yang agung. Kita tidak akan mampu mengkritisi dan menolak pemikiran mereka kecuali setelah betul-betul menguasai ilmu kalam. Maka dengan demikian, seorang mufassir membutuhkan penguasaan ilmu Balaghah, ilmu nahwu dan sharaf, ushul fiqh, dan juga ilmu kalam. Maka mudah-mudahan penjelasan ini dapat memberikan gambaran kepada kalian bahwa tafsir Alquranul Karim berada pada tingkatan yang sangat rumit dan beresiko. Tafsir juga membutuhkan ilmu yang luas, sehingga dengan penguasaan yang terang dan pemahaman kaidah-kaidah tafsir, kita mampu untuk mengkritisi tafsir yang menyimpang secara ilmiah, dan menyuguhkan suatu penafsiran dimana jika didengar oleh seluruh umat manusia, mereka akan masuk Islam.

Demikian satu bagian dari keseluruhan penjelasan Syekh Usamah dalam seminar di UIN. InsyaAllah lanjutannya akan saya tulis dalam sambugannya pada postingan berikutnya. 

Oleh: Ustadz Muhammad Iqbal Jalil

Demikian Artikel " Waspada Kitab Tafsir Yang Disusupi Ikhwanul Muslimin dan Salafi "

Semoga Bermanfaat

Wallahu a'lam Bishowab

Allahuma sholli 'alaa sayyidina muhammad wa 'alaa aalihi wa shohbihi wa salim

- Media Dakwah Ahlusunnah Wal Jamaah -

Redaksi

Rumah Muslimin Grup adalah Media Dakwah Ahlusunnah Wal jama'ah yang berdiri pada pertengahan tahun 2017 Bermazhab Syafi'i dan berakidah Asyariyyah. Bagi sobat rumah-muslimin yang suka menulis, yuk kirimkan tulisannya ke email kami di dakwahislamiyah93@gmail.com

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama
close