KEDERMAWANAN HABIB SALIM ASSYATIRI DIRASAKAN SEMUA ORANG
RUMAH-MUSLIMIN.COM | KISAH- Di tengah arus informasi yang cepat dan selektif, tak semua kisah tentang keteladanan berhasil mencuat ke permukaan. Salah satu yang luput dari gemerlap sorotan adalah sosok mulia dari Hadhramaut, Yaman: Habib Salim Assyathiri. Sosok yang dalam diamnya memberi, dan dalam senyumnya menguatkan ribuan jiwa tanpa berharap dikenal, apalagi diviralkan.
Sekitar tahun 2013 atau 2014, Habib Salim datang ke Indonesia. Bukan dengan maksud mencari keuntungan dunia, melainkan menyapa murid-murid dan umat yang mencintainya. Momen kedatangan beliau bukan hanya berisi majelis ilmu, tetapi juga lautan kemurahan hati. Sejak mendarat di bandara hingga kembali ke negeri asalnya, siapa pun yang menyalami beliau diberikan selembar dolar AS. Bukan satu atau dua orang, tetapi semua yang bertemu. Santri yang sudah berkeluarga bahkan diberi dua kali lipatnya.
"Sedikit cerita, pada tahun 2013 apa 2014 saya lupa, guru kami, Habib Salim Assyathiri datang dari Yaman ke Indonesia, bukan hanya bagi-bagi ilmu, beliau juga bagi-bagi dollar, mulai dari bandara kedatangan sampai bandara keberangkatan, setiap orang yang salaman dikasih 100 dollar amrik. Murid-muridnya yang sudah berkeluarga dikasih 200. Beliau ke Indonesia bukan cari uang tapi bagi-bagi bro, saksinya banyak, cuma nggak viral aja."
Namun kemurahan itu tidak dimulai di Indonesia, dan tidak pula berakhir di sana. Di kampung halamannya di Yaman, Habib Salim dijuluki Abul Fuqoro, yang berarti "ayah bagi orang-orang fakir". Ia membayar tagihan listrik para tetangganya, membantu biaya kelahiran istri mereka, dan memberikan santunan bahkan kepada tetangga yang secara mazhab dan pandangan berbeda, seperti kelompok Wahabi. Tidak ada diskriminasi. Semuanya dipeluk dengan kasih.
$ads={1}
"Di Yaman sendiri, beliau dikenal sebagai Abul Fuqoro, ayahnya orang-orang fakir. Tetangga-tetangganya yang fakir itu listriknya beliau yang bayar. Kalo istrinya mau melahirkan, kadang-kadang minta uangnya ke beliau. Itu tetangga-tetangganya bahkan ada yang Wahabi juga lho. Tapi diperlakukan sama, disayangi juga."
Baca juga: Menyikapi Polemik Karomah Para Habaib dan Menelisik Keasliannya
Penulis sendiri menjadi saksi hidup atas kemurahan hati itu. Pada tahun 2014, ketika ayahnya meninggal dunia, Habib Salim bukan hanya hadir secara spiritual, tetapi juga hadir dalam bentuk nyata: menanggung semua kebutuhan hidup penulis. Mulai dari biaya pendidikan, makan sehari-hari, tagihan air dan listrik, bahkan uang jajan bulanan. Tak hanya itu, jika penulis ingin membeli kitab, beliau mempersilakan mengambil langsung dari perpustakaan pribadinya.
"Tahun 2014 ketika ayah Saya meninggal, beliau menanggung semua biaya pendidikan Saya termasuk makan, listrik, air, pokoknya semuanya, sampai tahun 2015 (karena setelah 2015 Saya ngajar di pondok cabang dan dapat gaji sendiri). Bahkan uang jajan bulanan Saya, beliau yang tanggung. Pengen beli kitab apa, tinggal datang di perpustakaan pribadi beliau pasti dikasih berapapun banyaknya asal kuat bawanya."
Ada sebuah momen spiritual yang sulit dilupakan. Malam 17 Ramadhan, dalam acara ifthar (buka puasa) di kediaman beliau di Yaman, ratusan orang berkumpul. Di antara mereka, ada sekelompok orang yang terang-terangan menyalahkan dan membid'ahkan beliau. Anehnya, mereka tetap diundang makan. Disuguhi dengan penuh hormat. Bahkan ditawari tambahan. Bukan dimusuhi. Bukan diusir. Ketika sebagian santri menangis menyaksikan akhlak luar biasa itu, Habib Salim tetap tenang.
"Saya pernah menghadiri uzumah (bukber 17 Ramadhan) di rumah beliau, yang datang ratusan bahkan mungkin seribu lebih, nampan di sebelah Saya adalah kumpulan salafi yang sedang mengutuk dan membid'ahkan beliau sambil menyantap makanan yang beliau hidangkan. Apa diusir? Apa diajak carok? Tidak. Malah ditawari mau nambah apa enggak?. Kami santrinya nangis nggak berhenti sampai selesai taraweh kami masih nangis atas kejadian itu. Akhlak seperti itu lalu dikatain antek Belanda, Yahudi, penipu, ya marahlah kita."
Jejak kedermawanan Habib Salim di Indonesia pun tidak hanya terjadi sekali. Pada 2007, saat diundang untuk menghadiri acara Maulid, panitia telah menyiapkan amplop sebagai tanda terima kasih. Tapi beliau tak hanya menolaknya, justru mengganti seluruh biaya acara dari kantong pribadinya.
"Tahun 2007 beliau juga pernah datang di tempat kami untuk mengisi acara maulid, panitia sudah menyiapkan bisyaroh, tapi beliau bukan hanya menolaknya, malah mengganti seluruh biaya acara maulid ini dengan uang yang beliau bawa sendiri dari Yaman."
Baca juga: Fakta Sejarah: Orang-orang Hadhrami Dianggap Ancaman oleh Belanda
Melalui segala pengalaman itu, penulis memahami satu hal: Ba’alawi sejati tidak hanya berdakwah lewat kata-kata. Mereka berdakwah dengan akhlak, dengan kasih sayang, dengan keberanian memberi dan memaafkan. Itulah sebabnya, ketika nama mereka dicemarkan oleh sebagian orang karena perilaku oknum, kami yang menyaksikan dan mengalami langsung akhlak para guru mulia ini merasa perlu bersuara.
"Percayalah, Ba'alawi yang kami kenal kurang lebih seperti beliau itu kepribadiannya.
Maka, izinkanlah kami untuk marah ketika ada yang menjelekkan Ba'alawi, dan juga marah kepada oknum Ba'alawi yang sudah merusak nama baik guru-guru kami.
Jika yang ingin kalian perangi adalah oknum dawir dan sejenisnya, Saya ada di barisan kalian. Tapi jika yang kalian bicarakan adalah nasab, Saya di garda terdepan melawan kalian; bukan untuk membela dawir, tapi untuk membela orang-orang mulia yang ikut kalian serang."
Dalam dunia yang begitu riuh oleh opini dan pencitraan, kisah Habib Salim Assyathiri adalah pelajaran nyata tentang keikhlasan, tentang bagaimana kemuliaan tak selalu harus tampil mencolok, dan tentang bagaimana kasih sayang lintas batas bisa menguatkan siapa pun yang mengenalnya.
Demikian Artikel " Kedermawanan Habib Salim Assyatiri Dirasakan Semua Orang "
Semoga Bermanfaat
Wallahu a'lam Bishowab
Allahuma sholli 'alaa sayyidina muhammad wa 'alaa aalihi wa shohbihi wa salim
- Media Dakwah Ahlusunnah Wal Jamaah-