Meluruskan Isu Feodalisme dan Penghormatan Ulama dalam Islam

MELURUSKAN ISU FEODALISME DAN PENGHORMATAN ULAMA DALAM ISLAM

RUMAH-MUSLIMIN.COM | NGAJI - Isu yang menimpa dunia pesantren akhir-akhir ini memperlihatkan adanya kesalahpahaman serius dalam memahami tradisi keilmuan Islam. Setelah tayangan di salah satu stasiun televisi nasional menggambarkan pesantren dan para kiai dengan nada sinis dan bias, muncul narasi bahwa penghormatan santri terhadap gurunya adalah bentuk feodalisme. Pandangan semacam ini tidak hanya keliru secara konseptual, tetapi juga berbahaya karena menuduh sistem pendidikan Islam sebagai praktik sosial yang menindas.

Padahal, feodalisme dan Islam berada di dua kutub yang bertentangan. Feodalisme adalah sistem sosial yang menjunjung ketundukan berdasarkan kekuasaan, kekayaan, atau keturunan. Dalam sistem ini, hierarki sosial bersifat kaku: yang kaya dan berkuasa dianggap mulia, sementara rakyat biasa berada di lapisan bawah dan harus tunduk.

Sebaliknya, Islam menolak segala bentuk penindasan berbasis kelas. Al-Qur’an menegaskan bahwa kemuliaan manusia tidak diukur dari status sosial, tetapi dari ketakwaan dan ilmu. Allah berfirman:

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.”

(QS. Al-Mujadilah: 11)

Dengan dasar ini, penghormatan terhadap ulama bukanlah tunduk karena kuasa, tetapi bentuk pengakuan terhadap ilmu dan amanah kerasulan yang mereka emban. Ulama adalah pewaris para nabi  mereka dijunjung tinggi karena ilmu, bukan karena darah biru atau jabatan.

$ads={1}

Namun, tingginya derajat ulama tidak berarti mereka bebas dari kritik. Dalam tradisi pesantren, kritik terhadap pendapat ulama justru menjadi bagian penting dari dinamika keilmuan. Melalui forum Bahtsul Masail, santri diajarkan bahwa kebenaran terletak pada dalil, bukan pada siapa yang berpendapat. Pendapat seorang tokoh besar pun tidak diterima jika tidak didukung oleh hujjah yang kuat. Di sinilah letak keindahan intelektualitas Islam: menghormati tanpa mengkultuskan, mengkritik tanpa mencaci.

Sejarah mencatat banyak contoh murid yang berani mengoreksi gurunya dengan adab dan argumentasi ilmiah. Misalnya, perdebatan antara Sa’duddin At-Taftazani dengan Adhuddin Al-Iji, atau sebelumnya antara Imam Asy-Syafi’i dengan Imam Malik. Mereka berbeda pendapat, bahkan saling mengkritik secara terbuka, namun tetap menjaga kehormatan satu sama lain. Fenomena ini membuktikan bahwa feodalisme tidak pernah hidup dalam khazanah keilmuan Islam.

Baca juga: Dari Al-Khoziny ke Trans7: Keadilan, Media, Etika Pesantren

Sayangnya, kesalahan logika (qiyas batil) kerap digunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk menyudutkan pesantren. Mereka membuat analogi sesat: karena santri menghormati kiai, maka pesantren bersifat feodal. Padahal, ini hanyalah permainan syaitan yang membelokkan makna penghormatan menjadi penindasan. Penghormatan dalam Islam lahir dari cinta dan ilmu, bukan dari rasa takut atau tekanan sosial.

Di tengah gempuran framing negatif media terhadap pesantren, umat perlu memahami akar intelektual tradisi keulamaan. Pesantren bukan lembaga feodal, melainkan pusat pendidikan egaliter yang membentuk karakter, adab, dan nalar ilmiah umat Islam. Di sinilah nilai keislaman menemukan keseimbangannya: antara ilmu dan akhlak, antara kebebasan berpikir dan adab menghormati guru.

Oleh karena itu, menyamakan penghormatan terhadap ulama dengan feodalisme bukan hanya kesalahan logika, tetapi juga bentuk pelecehan terhadap warisan keilmuan Islam yang agung. Islam tidak mengenal kasta, tidak mengenal pengultusan manusia. Yang dikenal hanyalah penghormatan terhadap ilmu dan kebenaran  dua hal yang menjadi pondasi utama berdirinya pesantren.

Sumber: Habib Ali Baqir al Saqqaf

Editor: Hendra, S/Rumah-muslimin

(Rumah Muslimin)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama
close