DARI AL KHOZINY KE TRANS7: KEADILAN, MEDIA, ETIKA PESANTREN
RUMAH-MUSLIMIN.COM | PESANTREN - Perdebatan publik tentang dunia pesantren kembali mengemuka setelah dua peristiwa besar mengguncang ruang kesadaran umat Islam di Indonesia. Pertama, tragedi ambruknya bangunan di Pondok Pesantren Al-Khoziny, Sidoarjo, yang menelan banyak korban jiwa. Kedua, tayangan program Xpose Uncensored di Trans7 yang menuai gelombang kritik karena dinilai melecehkan pesantren dan para kiai. Dua peristiwa ini seolah membuka kembali ruang refleksi kita: sejauh mana keadilan, objektivitas, dan etika dipraktikkan baik dalam dunia keagamaan maupun dalam dunia media massa.
Tragedi Al-Khoziny dan Keadilan yang Tertunda
Runtuhnya bangunan di Pondok Pesantren Al-Khoziny pada 29 September 2025 menyisakan luka mendalam bagi dunia pendidikan Islam. Ratusan santri menjadi korban, puluhan meninggal dunia, dan tak sedikit yang mengalami trauma berat. Fakta di lapangan menunjukkan adanya indikasi kuat mal-konstruksi: pembangunan tanpa izin bangunan gedung (PBG), pelibatan santri dalam proses pengecoran tanpa pengawasan ahli, serta minimnya penerapan prinsip keselamatan kerja (K3).
Namun dibalik duka tersebut, muncul dua arus reaksi publik yang sama ekstremnya. Di satu sisi, ada kelompok yang membela pesantren dengan membabi buta, seolah tragedi ini semata ujian Tuhan tanpa perlu evaluasi manusiawi. Mereka menolak penegakan hukum atas alasan “menjaga marwah ulama” dan menuduh pihak yang menuntut keadilan sebagai “pembenci pesantren.”
Di sisi lain, muncul pihak yang mencaci maki, menyamaratakan kesalahan teknis dengan kerusakan moral, bahkan menghina lembaga pesantren sebagai institusi yang tertinggal dan tidak profesional.
Kedua sikap ini sama-sama menegasikan prinsip keadilan sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an:
"Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu."
(QS. An-Nisa: 135)
Ayat ini menegaskan bahwa keadilan tidak boleh diukur dengan ukuran kelompok, kedekatan, atau perasaan. Jika memang terjadi kelalaian konstruksi, maka tanggung jawab hukum tetap harus ditegakkan. Namun, proses penegakan hukum itu tidak boleh bergeser menjadi penghukuman sosial yang menghina martabat pesantren sebagai lembaga ilmu dan akhlak.
Dengan demikian, tragedi Al-Khoziny semestinya menjadi titik balik untuk memperbaiki tata kelola pesantren, meningkatkan kesadaran terhadap keselamatan santri, dan memperkuat sinergi antara keilmuan agama dan ilmu teknik sipil, agar pesantren ke depan semakin kokoh lahir dan batin.
Baca juga: Istilah Penamaan Haul Solo pada Habib Ali Muhammad al Habsyi
Trans7 dan Propaganda Framing terhadap Dunia Pesantren
Belum reda luka di Sidoarjo, publik kembali diguncang oleh tayangan program Xpose Uncensored di Trans7 yang memuat cuplikan aktivitas kiai dan santri dengan narasi yang dianggap sinis, bias, dan tendensius. Tayangan itu menggambarkan interaksi antara santri dan kiai dengan diksi-diksi yang seolah ingin menampilkan dunia pesantren sebagai ruang feodal, tidak rasional, bahkan eksploitatif.
Gelombang kecaman pun meluas. Majelis Ulama Indonesia (MUI), PBNU, hingga para akademisi komunikasi menyebut bahwa tayangan tersebut tidak mencerminkan prinsip jurnalisme yang berimbang. Program tersebut, menurut banyak pengamat, sarat dengan framing destruktif yakni teknik penyajian informasi dengan menonjolkan aspek tertentu agar penonton menarik kesimpulan tertentu pula.
Dalam hal ini, analisis framing menunjukkan bagaimana pemilihan gambar, diksi, dan intonasi narator digunakan untuk membangun persepsi negatif terhadap pesantren. Seolah pesantren adalah tempat yang tertutup, penuh kultus individu terhadap kiai, dan tidak rasional. Padahal, realitas pesantren jauh lebih kompleks: ia adalah lembaga pendidikan tertua di Indonesia yang telah melahirkan ribuan ulama, intelektual, dan pejuang kemerdekaan.
Islam sangat menekankan prinsip tabayyun, yakni klarifikasi sebelum menilai. Allah berfirman:
"Wahai orang-orang yang beriman! Jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya, yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu."
(QS. Al-Hujurat: 6)
Dalam konteks ini, media memiliki tanggung jawab moral dan spiritual untuk menegakkan prinsip tabayyun sebelum menyiarkan konten yang menyentuh ranah keagamaan. Mengulas pesantren tanpa memahami kultur, tradisi keilmuan, dan relasi spiritual antara santri dan kiai sama saja dengan menilai Islam hanya dari kulitnya.
$ads={1}
Etika, Keadilan, dan Tantangan Objektivitas
Baik tragedi Al-Khoziny maupun kasus tayangan Trans7 menunjukkan satu benang merah: keadilan kini sering menjadi relatif dan terikat pada “inner circle” masing-masing pihak. Mereka yang pro merasa wajib membela, mereka yang kontra merasa berhak menghina. Padahal, dalam Islam, keadilan tidak tunduk pada loyalitas sosial, tetapi pada kebenaran itu sendiri.
Imam Al-Ghazali pernah menulis dalam Ihya’ Ulumuddin: “Zalim bukan hanya ketika seseorang mengambil hak orang lain, tetapi juga ketika ia menolak kebenaran karena datang dari orang yang tidak ia sukai.”
Dalam dunia modern, kezaliman bisa muncul dalam bentuk yang lebih halus melalui pemberitaan, framing, dan opini publik yang menggiring persepsi tanpa fakta lengkap. Karena itu, masyarakat Muslim perlu semakin melek media (media literacy), memahami cara kerja propaganda, dan tidak mudah terhasut oleh narasi yang tampak ilmiah tapi bermuatan ideologis.
Penutup
Dunia pesantren tidak anti kritik, tetapi kritik harus berlandaskan ilmu, adab, dan cinta pada kebenaran. Pesantren pun perlu membuka diri terhadap pembaruan manajemen dan keselamatan santri. Sebaliknya, media massa juga harus menghormati nilai-nilai kultural Islam yang menjadi jantung spiritual bangsa ini.
Rasulullah ï·º bersabda:
“Barang siapa tidak memiliki rasa kasih sayang, maka ia tidak akan disayangi.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Kasih sayang dan keadilan adalah dua pilar utama dalam menegakkan peradaban Islam. Dari tragedi Al-Khoziny hingga tayangan Trans7, kita diajak bercermin: sudahkah kita adil, berilmu, dan beradab dalam menilai sesama?
Sumber: Faisal Kangcoy Zarab
Editor: Hendra, S/Rumah-muslimin
(Rumah Muslimin)