Ilmu Agama Islam Selalu Berkembang Dan Tidak Statis

ILMU AGAMA ISLAM SELALU BERKEMBANG DAN TIDAK STATIS

RUMAH-MUSLIMIN.COM - Salah satu karakteristik ilmu yang sering dilupakan orang bahwa ilmu itu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Ibarat manusia yang asalnya dari Adam dan Hawa, kemudian melahirkan anak, cucu, cicit dan umat manusia.

Contoh paling sederhana untuk menggambarkan perkembangan ilmu-ilmu keislaman adalah Ilmu Al-Quran. 

Kalau kita telurusi sejarah awal di masa kenabian,  orang-orang di masa itu belum menyebut secara khusus Ilmu Al-Quran sebagai sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri. 

Bukan berarti tidak ada Ilmu Al-Quran, namun di masa itu Ilmu Al-Quran masih merupakan bagian dari Ilmu Tafsir.

Padahal sebagai sebuah disiplin ilmu, Ilmu tafsir sendiri di masa kenabian juga belum terstruktur seperti sekarang. Kala itu Ilmu Tafsir masih sebatas penjelasan Nabi SAW atas suatu ayat yang kurang jelas dipahami para shahabat.

Atau bisa juga penjelasan dari para shahabat yang tahu langsung tentang suatu ayat, boleh jadi karena ayat itu menyangkut dirinya secara langsung, atau pun tidak langsung.

Namun intinya ilmu tafsir itu masih merupakan ilmu yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Quran, belum menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri.

Kalau pun pada generasi berikutnya Al-Quran kemudian dibukukan, namun isinya sama sekali tidak ada tafsirnya. Khalifah Utsman malah membakar semua mushaf shahabat yang tidak resmi, karena banyak tercampur dengan tafsir sehingga sulit dibedakan mana teks asli dan mana tafsir. 

Lewat masa shahabat, mulai ada penulisan hadits nabawi yang sebelumnya di masa kenabian justru dilarang. Alasannya lagi-lagi khawatir tercampur dengan teks Al-Quran. 

Namun di masa berikutnya hadits-hadits nabawi kemudian dituliskan dalam buku. Uniknya, ilmu tafsir di masa itu justru malah menjadi bagian dari ilmu hadits. Kalau mau belajar tafsir, justru kita buka kitab hadits, khususnya pada hadits-hadits yang menjelaskan makna suatu ayat. 

Setelah itu masuk zaman di mana sebagian kalangan ulama kemudian menulis kitab hadits yang isinya hanya hadits-hadits yang terkait dengan suatu ayat. Disusun berdasarkan urutan ayat-ayat di dalam Al-Quran. 

Hasilnya berupa kumpulan hadits yang menjelaskan isi Al-Quran. Dari sanalah nantinya baru lahir kitab tafsir generasi awal seperti kitab Ath-Thabari (w. 310 H) dan kitab sejenis.

Sampai disitu, masih belum ada karya ulama di bidang Ilmu Al-Quran secara berdiri sendiri. Di masa itu biasanya Ilmu tentang Al-Quran masih menjadi bagian dari Ilmu Tafsir. Secara teknis penulisannya masih menempel dari bagian awal mukaddimah dalam suatu kitab tafsir, bukan sebagai cabang ilmu tersendiri. 

$ads={1}

Setelah era itu barulah masuk era dimana para ulama menulis buku khusus yang isinya bukan lagi tafsir, tetapi  khusus hanya berisi Ilmuِ Al-Quran saja, yang wujudnya berdiri sendiri bukan bagian dari kitab tafsir. 

Di abad ke delapan hijriyah, Az-Zarkasyi (w. 794 H) menulis kitab khusus berisi cabang-cabang Ilmu Al-Quran. Judulnya Al-Burhan fi Ulumil Quran. Isinya tidak kurang dari 47 cabang ilmu Al-Quran. 

Abad kesembilan As-Suyuthi (w. 911 H) menulis buku terkait ilmu Al-Quran yang fenomenal berjudul :  Al-Itqan fi Ulumil Quran. Ternyata cabangnya sudah lebih banyak lagi menjadi 80-an cabang.  

* * *

Intinya saya ingin mengatakan bahwa ilmu-ilmu keislaman itu tidak statis, beku, jumud dan kaku. Namun ilmu-ilmu keislaman punya sifat dinamis, selalu berkembang dan mengalami pertumbuhan cabang-cabangnya. 

Konsekuensinya yang penting, yaitu mulai muncul spesialisasi-spesialisasi keilmuan. Spesialisasi ini bukan kemunduran tetapi malah kemajuan. Sebab semakin mendalam suatu cabang ilmu dikembangkan, maka akan semakin mendalam isinya.

Untuk itu bermunculan lah para ulama yang spesialis, dimana bidang yang ditekuninya dibatasi hanya pada satu cabang ilmu itu saja. Tujuannya bukan mau melupakan cabang ilmu yang lain, tetapi biar bisa lebih terkonsentrasi menggali lebih dalam dan lebihi dalam. 

Era dimana ulama menguasai semua cabang ilmu mulai bergeser, atau lebih tepatnya menjadi satu lapisan tersendiri yaitu lapisan dasar. 

Maksudnya, calon ulama itu memang awalnya dibekali dengan berbagai macam cabang disiplin ilmu, mulai dari fiqih, ushul fiqih, tafsir, hadits, dan lainnya. 

Namun penguasaan semua cabang ilmu itu sifatnya hanya di level elementer alias tingkat dasar. Untuk naik ke derajat yang lebih tinggi, mau tidak mau harus ambil spesialisasi, kalau mau lebih mendalam dan spesifik. 

Zamannya sudah tidak lagi memungkinkan seorang ulama mendalami dan ekspert pada semua cabang keilmuan.

Dan ini wajar dan manusiawi, mirip dalam dunia kedokteran. Pada dasarnya semua dokter di level S-1 pastinya belajar semua ilmu dasar cabang-cabang ilmu kedokeran. Kalau lulus S-1 ini gelarnya masih dokter umum. 

Namun kalau ilmunya mau nambah lagi biar lebih ekspert, harus kuliah lagi untuk jenjang yang lebih dalam, yaitu pasca sarjana. Masuk pasca ini seorang dokter sudah diarahka ke spesialisasi tertentu, misalnya dokter mata, THT, jantung, kulit, otak, paru, hati, jantung, ginjal, syaraf, tulang, dan seterusnya. 

Saking njelimetnya masing-masing cabang kedokteran ini, maka seorang dokter umum biasanya hanya mengambil satu spesialisasi. Mungkin kalau ada yang saking pinternya, bisa ambil dua atau tiga spesialisasi.  Tapi itu sudah sakti banget lah. Lagian jarang ada.

Tapi saya belum pernah kenal dokter yang punya 20 spesialisasi yang berbeda di bidang kedokteran. Kalau sekedar ngaku bisa semuanya sih banyak, tukang obat pinggir jalan pun ngakunya bisa mengobati segala macam penyakit. Tapi yang betulan jujur apa adanya paling hanya menguasai satu spesialisasi. 

Namun uniknya kadang sebuah masalah kedokteran butuh ditangani oleh beberapa spesialisasi sekaligus. Sebut contoh yang mudah misalnya operasi Cesar. Setidaknya dibutuhkan 3 spesialisasi yaitu dokter kandungan, dokter anastesi dan dokter anak.

Maka ketiga dokter itu saling bekerjasama sesuai bidang spesialisasi masing-masing. Kerja sama bukan saling mencemooh. Kerja sama itu pastinya saling menghargai dan mengakui keilmuan temannya. 

Seharusnya para ulama di bidang spesialisasi masing-masing juga bisa bekerja sama seperti para dokter itu. Bukan saling merasa lebih pintar, atau malah merasa bisa menguasai semua bidang ilmu keislaman.

Kalau ulama betulan pastinya tidak mungkin kayak gitu perilakunya.

Oleh: Ustadz Ahmad Sarwat Lc, MA

Demikian Artikel " Ilmu Agama Islam Selalu Berkembang Dan Tidak Statis "

Semoga Bermanfaat

Wallahu a'lam Bishowab

Allahuma sholli 'alaa sayyidina muhammad wa 'alaa aalihi wa shohbihi wa salim

- Media Dakwah Ahlusunnah Wal Jama'ah -

Redaksi

Rumah Muslimin Grup adalah Media Dakwah Ahlusunnah Wal jama'ah yang berdiri pada pertengahan tahun 2017 Bermazhab Syafi'i dan berakidah Asyariyyah. Bagi sobat rumah-muslimin yang suka menulis, yuk kirimkan tulisannya ke email kami di dakwahislamiyah93@gmail.com

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama
close