Benarkah Al-Qur'an Diturunkan ke Dalam Hati Nabi? Ini Jawabannya

(Gambar: benarkah al-qur'an turun ke hati nabi?. src: Getty Images/iStockphoto/artisteer/Tentang Al Alaq)

BENARKAH AL-QUR'AN DITURUNKAN KE DALAM HATI NABI? INI JAWABANNYA

RUMAH-MUSLIMIN.COM - Jika Anda sudah menyetujui analisis logis yang penulis kemukakan dalam tulisan sebelumnya (Baca juga: Menjawab Tuduhan Mu'nim Sirry yang Menyatakan Nabi Muhammad Kurang Wawasan), maka kini saatnya kita mempersoalkan pemahaman Mun’im terkait ayat-ayat yang, menurutnya, bisa dijadikan alasan bahwa lafaz al-Quran itu berasal dari nabi. Dan yang diturunkan kepada nabi hanya maknanya saja. Apa yang dia lakukan itu, berdasarkan penuturannya, ialah memvalidasi pandangan tersebut melalui data-data al-Quran itu sendiri.

“Untuk menunjukkan bahwa, dalam perspektif Alquran sendiri (tentu, dalam pembacaan saya), wahyu yang disampaikan kepada Nabi itu bersifat non-verbal (bukan ucapan atau ungkapan (‘ibarat) dan peran Nabi memverbalkannya dengan lafaz dan bunyi, saya akan menganalisis data-data Alquran dalam tiga segmen.” Tulis Mun’im dalam artikel yang berjudul “al-Quran dan Paham Ortodoks” itu. 

Dan salah satu segmen yang dia kemukakan ialah ayat-ayat yang menyebutkan bahwa al-Quran itu diturunkan ke hati nabi. Pertanyaan yang harus segera kita jawab ialah: Benarkah ayat-ayat yang dia kutip itu bisa memperkuat pandangannya? Di antara ayat yang Mun’im kutip ialah dua ayat sebagai berikut: 

Ayat Pertama:

قُلْ مَنْ كَانَ عَدُوًّا لِّجِبْرِيْلَ فَاِنَّهٗ نَزَّلَهٗ عَلٰى قَلْبِكَ بِاِذْنِ اللّٰهِ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَهُدًى وَّبُشْرٰى لِلْمُؤْمِنِيْنَ 

“Katakanlah (Nabi Muhammad), “Siapa yang menjadi musuh Jibril?” Padahal, dialah yang telah menurunkan (Al-Qur’an) ke dalam hatimu dengan izin Allah sebagai pembenaran terhadap apa (kitab-kitab) yang terdahulu, dan petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang beriman.” (QS. Al-Baqarah [2] 97).

Ayat Kedua: 

نَزَلَ بِهِ الرُّوْحُ الْاَمِيْنُ ۙ عَلٰى قَلْبِكَ لِتَكُوْنَ مِنَ الْمُنْذِرِيْنَ ۙ 

“Ia (Al-Qur’an) dibawa turun oleh Ruhulamin (Jibril). (Diturunkan) ke dalam hatimu (Nabi Muhammad) agar engkau menjadi salah seorang pemberi peringatan.” (QS. As-Syu’ara [26]: 193-194).

Saya ingin mengajak Anda untuk benar-benar memerhatikan kedua ayat itu secara seksama dan seteliti mungkin. Lalu jawablah pertanyaan ini dengan adil dan jujur: Adakah bunyi dari kedua ayat itu yang secara sarih menyebutkan bahwa al-Quran itu adalah kalam Nabi, atau berasal dari nabi, seperti klaim yang diajukan oleh Mun’im Sirry? Pembacaan yang serius dan cermat akan berakhir dengan jawaban: tidak ada! 

$ads={1}

Ayat itu hanya menyatakan bahwa al-Quran itu diturunkan oleh seorang malaikat ke hati nabi. Dan makna diturunkan itu sendiri, seperti yang sudah kita singgung sebelumnya, ialah “diberitahukan” (al-‘ilām), bukan turun dalam arti berpindah dari atas ke bawah, lalu masuk ke hati nabi layaknya masuknya air ke dalam botol! Mirisnya, tampak terlihat bahwa Mun’im memaknai “turun” dalam ayat tersebut dalam arti yang hakiki. Dan karena itu dia tidak memungkinkan turunnya lafaz al-Quran.  

“Tentu saja”, kata Mun’im, “wahyu yang masuk ke dalam hati Nabi bersifat non-verbal. Dan dua ayat itu pulalah yang dijadikan basis skriptural oleh Fazlur Rahman untuk berargumen bahwa lafaz-lafaz Alquran berasal dari Nabi Muhammad sendiri. Argumen Rahman dapat dijustifikasi, sebab jika wahyu non-verbal disampaikan ke dalam hati Nabi, maka implikasi logisnya adalah Nabi sendiri yang memverbalkan wahyu yang diterimanya itu.” 

Baca juga: Membahas Al-Qur'an Tidak Serumit Kalamullah Yang Lain

Dalam kitab al-Madkhal li Dirāsat al-Qurān al-Karīm,  Prof. Dr. Muhammad Abu Syahbah (w. 1403 H), kata nuzūl itu, dari sudut kebahasaan, paling tidak mengandung dua makna. Pertama, “bertempat” (hulūl). Kedua, “bergeraknya sesuatu dari ketinggian menuju bawah” (taharruk as-syai min ‘uluwwin ilā suflin). 

Namun, masih kata Abu Syahbah, kedua makna kebahasaan ini mustahil kita berlakukan untuk al-Quran. Karena pemaknaan tersebut berkonsekuensi pada jismiyyah dan makāniyyah. Baik al-Quran dalam arti sifat Allah yang qadim, maupun yang sudah terangkai dalam bahasa Arab yang jelas (al-lafzh al-‘arabi al-mubīn), yang menjadi penunjuk (dāl) atas sifat Allah yang qadīm itu. Lantas apa makna “turun” yang relevan dalam konteks membicarakan turunnya al-Quran itu? 

Menariknya, jawabannya ahli tafsir dari Universitas al-Azhar ini tidak jauh berbeda dengan pandangan Imam az-Zarqani yang kita tampilkan dalam tulisan yang lalu itu. Bahwa kata “nuzūl” dalam konteks turunnya al-Quran itu perlu dimaknai secara metaforis (majāzi). Berikut penulis lampirkan apa yang dikatakan oleh Abu Syahbah terkait makna nuzūl itu.

    وعلى هذا يكون المراد بالنزول المعنى المجازي: والمجاز في اللغة العربية باب واسع. فإن أردنا بالقرآن: الصفة القديمة أو متعلقها، فالمراد بالإنزال: الإعلام به بواسطة إثبات الألفاظ والحروف الدالة عليه، من قبيل: إطلاق الملزوم وإرادة اللازم، وإن أردنا اللفظ العربي الدال على الصفة القديمة. فيكون المراد: نزول حامله به سواء أردنا بالنزول: نزوله إلى سماء الدنيا، أو على النبي صلى الله عليه وسلم، ويكون الكلام من قبيل المجاز بالحذف، وهذا هو ما يتبادر إلى الأذهان عند إطلاق لفظ النزول.

“Atas dasar itu, maka yang dimaksud dari kata nuzūl ialah makna majazi. Dan majaz dalam bahasa Arab merupakan bab pembahasan yang luas. Jika yang kita maksud dengan al-Quran itu ialah sifat yang qadīm, atau yang apa yang menjadi keterkaitannya, maka maksud dari “inzāl” (penurunan) ialah “memberitahukannya dengan perantara penetapan lafaz-lafaz dan huruf-huruf yang menjadi penunjuknya.” Dari sisi penetapan malzum, sementara yang dimaksud ialah lazimnya. Tetapi jika yang kita maksud ialah lafaz berbahasa Arab, yang menjadi petunjuk atas sifat yang qadim, maka maksudnya ialah turunnya pembawa (al-Quran) itu dengannya. Baik yang kita maksud dengan nuzul itu ialah turunnya al-Quran ke langit dunia, atau kepada Nabi Saw. Dengan demikian, ungkapan tersebut dimaknai sebagai majāz dengan pembuangan (majāz bil hadzf). Dan inilah yang terlintas dalam benak manakala disebutkan kata “nuzūl” itu. (Madkhal, hlm. 47-48)  

Anda lihat sekali lagi di sini bahwa istilah “menurunkan” itu bisa dimaknai “memberitahukan”. Ketika malaikat turun ke hati nabi, maka itu artinya malaikat datang untuk memberi tahu nabi. Lalu mengabarkan kepada nabi bahwa lafaz dari ayat ini berbunyi begini, dan lafaz dari ayat itu berbunyi begitu, dan begitu seterusnya. Apa yang mustahil dengan hal itu? Pemaknaan semacam ini bukan hal yang asing bagi para pakar, yang memang mengakui adanya majaz dalam al-Quran.

Jika istilah “menurunkan” di sini dimaknai sebagai “memberi tahu”, maka sungguh tidak ada yang mustahil jika Tuhan memberi tahu al-Quran itu dengan lafaz dan maknanya sekaligus. Juga tidak ada yang mustahil jika malaikat memberi tahu nabi terkait lafaz-lafaz al-Quran yang harus dia sampaikan itu. 

Baca juga: Al-Qur'an Sebagai Rujukan Satu-Satunya Dalam Pokok dan Dasar Keimanan

Pertanyaannya sekarang, atas dasar apa Mun’im membatasi bahwa penurunan al-Quran itu hanya sebatas maknanya saja? Dari redaksi yang mana dia menghasilkan kesimpulan itu? Apa kaidah penafsiran yang dia gunakan? Orang yang menafsirkan al-Quran dengan nalar liar biasanya tak akan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam ini. 

Redaksi dari dua ayat yang dia kutip sama sekali tidak menafikan adanya penurunan lafaz al-Quran. Kalaupun benar dua ayat itu berbicara tentang penurunan makna, yang penting untuk kita catat ialah penurunan makna tidak lantas menafikan penurunan lafaz. Apalagi redaksi ayat itu memang tidak menafikan. Ayat itu sama sekali tidak menyatakan bahwa al-Quran itu hanya diturunkan maknanya saja. Dia menyatakan, dia (al-Quran) itu diturunkan. Dengan cara seperti apa dia diturunkan? Ayat ini sama sekali tidak mengafirmasi pembatasan yang Mun’im tunjukkan itu. 

Seorang sarjana perlu teliti dalam menelurkan sebuah kesimpulan. Apalagi ini menyangkut klaim yang ditampilkan untuk menggugat pandangan mayoritas, yang konon dia pandang absurd itu. Kesimpulan yang baik dalam sebuah argumen yang ialah kesimpulan yang koheren dan konsisten dengan premis yang melandasinya. Klaim utama Mun’im ialah, al-Quran itu kalam Allah sekaligus kalam nabi. Sementara ayat yang dia kutip sama sekali tidak menetapkan klaim dia sendiri.

Hubungan antara lafaz dengan makna dapat kita analogikan seperti hubungan antara wadah dengan isi. Kalau suatu waktu saya berkata, “saya ingin memberi Anda air”, misalnya, apakah dengan pernyataan ini Anda bisa menyimpulkan bahwa saya tidak akan memberikan wadah? Ya tentu saja tidak. Pemberian isi itu tidak serta merta menafikan pemberian wadah. Lafaz itu adalah wadah. Dan makna itu adalah isi. 

Dengan demikian, dari sudut pengamatan yang logis, kenyataan bahwa Allah menurunkan makna al-Quran ke dalam hati nabi tidak serta merta menafikan penurunan lafaznya sama sekali. Kecuali kalau ayat itu secara tegas menyatakan bahwa hanya makna al-Quran lah yang diturunkan kepada nabi itu. Dan dia menafikan penurunan lafaznya. Pertanyaannya, adakah ayat al-Quran yang secara tegas bicara tentang masalah itu?

Fakta yang ada justru sebaliknya. Dalam sebuah ayat, Allah Swt berfirman: 

اِنَّآ اَنْزَلْنٰهُ قُرْاٰنًا عَرَبِيًّا لَّعَلَّكُمْ تَعْقِلُوْنَ 

“Sesungguhnya kami telah menurunkannya berupa al-Quran yang berbahasa Arab (qur’ānan ‘arabiyyan) agar kamu mengerti (QS. Yusuf [12]: 2).

Tidakkah itu menunjukkan bahwa al-Quran diturunkan dengan lafaznya? Sebab, kalau dia hanya diturunkan maknanya, untuk apa dia disifati dengan bahasa Arab? Dengan adanya penyifatan “berbahasa Arab” itu, maka ayat al-Quran justru semakin memperkuat klaim kita bahwa al-Quran itu turun dengan lafaznya. Bukan sebatas maknanya saja.  

Jika Mun’im memandang “pemberitahuan” terkait lafaz al-Quran kepada Nabi itu termasuk sesuatu yang mustahil, maka kita berhak untuk bertanya: di mana letak kemustahilan itu? Adakah hukum rasional yang dilanggar manakala kita berkesimpulan bahwa lafaz al-Quran itu berasal dari Tuhan? Jika tidak ada, dan Mun’im memungkinkan pemberitahuan lafaz itu, maka gugurlah sudah pendasaran Mun’im pada dua ayat di atas. Demikian. Wallahu ‘alam bisshawab.

Oleh: Ustadz Muhammad Nuruddin

Demikian Artikel " Benarkah Al-Qur'an Diturunkan ke Dalam Hati Nabi? Ini Jawabannya "

Semoga Bermanfaat

Wallahu a'lam Bishowab

Allahuma sholli 'alaa sayyidina muhammad wa 'alaa aalihi wa shohbihi wa salim

- Media Dakwah Ahlusunnah Wal Jamaah - 

Redaksi

Rumah Muslimin Grup adalah Media Dakwah Ahlusunnah Wal jama'ah yang berdiri pada pertengahan tahun 2017 Bermazhab Syafi'i dan berakidah Asyariyyah. Bagi sobat rumah-muslimin yang suka menulis, yuk kirimkan tulisannya ke email kami di dakwahislamiyah93@gmail.com

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama
close