KESALAHAN BERFIKIR FELIX SIAUW DALAM ANALISIS PERANG IRAN VS ISRAEL
RUMAH-MUSLIMIN.COM | OPINI - Felix Siauw, seorang figur publik yang dikenal kerap menyampaikan pandangan keagamaan dan geopolitik melalui media sosial, telah menyampaikan pandangan kontroversial mengenai konflik antara Iran dan Israel. Dalam salah satu narasinya, ia menyatakan bahwa konflik tersebut tidak terkait dengan isu Palestina, melainkan sebagai upaya pengembalian kekuasaan dinasti lama, yakni rezim Pahlavi. Pernyataan ini, menurut hemat penulis, mengandung beberapa kekeliruan logika dan reduksi historis yang patut dikritisi secara akademik.
Felix mendasarkan argumennya pada fakta sejarah bahwa pada masa silam, Iran dan Israel pernah menjalin hubungan strategis, baik pada era Kekaisaran Persia di bawah kepemimpinan Cyrus Agung yang dikenal menyelamatkan komunitas Yahudi, maupun pada masa dinasti Pahlavi. Memang benar bahwa sejarah mencatat adanya relasi diplomatik dan kerjasama antara kedua negara tersebut, namun penggunaan data sejarah tersebut secara literal untuk menjelaskan situasi kontemporer merupakan bentuk kekeliruan berpikir—khususnya dalam bentuk false analogy.
Sejak terjadinya Revolusi Islam Iran tahun 1979, terjadi perubahan fundamental dalam arah kebijakan luar negeri negara tersebut. Iran pasca-revolusi secara tegas menyatakan permusuhannya terhadap Israel, dengan menyatakan dukungan penuh terhadap perjuangan rakyat Palestina. Dukungan ini bukan hanya simbolik, tetapi juga bersifat strategis, termasuk melalui dukungan kepada kelompok-kelompok perlawanan seperti Hamas dan Hizbullah. Hal ini menunjukkan adanya transformasi ideologi negara yang signifikan dan tidak dapat disamakan dengan hubungan bilateral pada masa pra-revolusi.
$ads={1}
Dengan mengabaikan transformasi besar tersebut, Felix terjebak dalam simplifikasi sejarah yang mengaburkan fakta-fakta penting. Pendekatannya juga menunjukkan kecenderungan pada fallacy of false dilemma, yakni menyempitkan pilihan seolah-olah hanya terdapat dua penyebab konflik: antara sekadar soal Palestina atau upaya restorasi kekuasaan Pahlavi. Padahal, dinamika geopolitik di Timur Tengah sangat kompleks dan tidak dapat diringkas dalam dikotomi yang sesempit itu.
Lebih lanjut, Felix juga tampak memperlihatkan confirmation bias, yakni kecenderungan hanya memilih fakta-fakta sejarah yang mendukung opininya, sementara mengabaikan berbagai fakta lain yang justru membantah konstruksi narasinya. Ia memilih untuk menampilkan bagian sejarah yang mendukung narasi bahwa Iran dan Israel pernah bersahabat, tetapi mengabaikan seluruh babak sejarah baru pasca-revolusi yang sangat berlawanan arah. Dalam logika ilmiah, cara berpikir semacam ini tidak menghasilkan analisis yang objektif dan menyeluruh.
Di sisi lain, narasi yang dikembangkan Felix juga tampak selaras dengan framing yang sering digunakan oleh media-media pro-Israel. Narasi tersebut cenderung mengaburkan fakta-fakta kekerasan struktural dan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan terhadap rakyat Palestina. Dalam hal ini, penting untuk menyadari bahwa media bukan hanya penyampai informasi, tetapi juga aktor ideologis yang dapat mempengaruhi persepsi publik. Tanpa disadari, Felix terjebak dalam arus narasi yang menyederhanakan konflik Palestina sebagai sekadar dampak konflik negara lain.
Secara keseluruhan, pendekatan yang digunakan Felix Siauw dalam menganalisis konflik Iran-Israel dapat dikategorikan sebagai bentuk penalaran yang kurang kritis terhadap dinamika sejarah dan geopolitik. Kesalahan logika, reduksi sejarah, serta bias dalam pemilihan data menjadi ciri khas dari narasi yang ia bangun. Meskipun dikemas dalam retorika yang terstruktur dan tampak logis, argumen-argumen tersebut pada dasarnya bersifat dangkal dan gagal menangkap kompleksitas persoalan.
Pertanyaan mendasar yang harus diajukan adalah: jika benar konflik Iran-Israel hanya didasari keinginan mengembalikan rezim Pahlavi, mengapa Iran harus menjalani revolusi berdarah, menerima sanksi internasional selama puluhan tahun, serta mengorbankan banyak ilmuwan, pejabat tinggi, dan rakyatnya demi membela Palestina? Semua itu menunjukkan bahwa kebijakan luar negeri Iran pasca-revolusi didasarkan pada fondasi ideologis yang berbeda secara total dari era sebelumnya.
Oleh karena itu, menyamakan kondisi Iran-Israel masa kini dengan konteks sejarah masa lalu bukan hanya merupakan simplifikasi berbahaya, tetapi juga mengaburkan perjuangan rakyat Palestina yang selama puluhan tahun telah mengalami penjajahan, pengusiran, dan ketidakadilan. Isu Palestina bukan sekadar konflik regional, melainkan permasalahan kemanusiaan global yang menuntut perhatian berdasarkan keadilan dan hak asasi, bukan sekadar pertimbangan geopolitik.
Dengan demikian, narasi seperti yang dibawakan oleh Felix Siauw patut ditanggapi secara kritis, agar tidak terjadi distorsi pemahaman publik terhadap konflik yang begitu kompleks. Dalam ruang publik yang sarat informasi bias, penting bagi setiap individu untuk mengembangkan cara berpikir yang rasional, berbasis data yang utuh, dan menghindari jebakan simplifikasi atau logika yang keliru.
Sumber: Gus Fajruddin Muchtar (FM)
Editor: Hendra, S/Rumah-Muslimin
Demikian Artikel " Kesalahan Berfikir Felix Siauw Dalam Analisis Perang Iran Vs Israel "
Semoga Bermanfaat
Wallahu a'lam Bishowab
Allahuma sholli 'alaa sayyidina muhammad wa 'alaa aalihi wa shohbihi wa salim
- Media Dakwah Ahlusunnah Wal Jamaah-