Kekeliruan Kyai Imaduddin Mengenai Sumber Kitab Nasab Mesti Sezaman

KEKELIRUAN KYAI IMADUDDIN MENGENAI SUMBER KITAB NASAB MESTI SEZAMAN

RUMAH-MUSLIMIN.COM - Keliru jika Anda mengira sumber sezaman harus dari kitab nasab atau kitab sejarah (tarikh sendiri punya tiga model: manaqib, sirah, dan thobaqot).

Al-Janadi, yang diklaim Kiai Imad sebagai sejarawan, sebenarnya kitabnya yang berjudul Al-Suluk tidak sepenuhnya bisa disebut kitab sejarah umum, tapi sejarah model thobaqot.

Makanya, ketika saya memberi "kuis" kenapa tidak disebutkan makam Nabi Hud di Yaman, jawaban Kiai Imad "bahwa makam itu tidak punya riwayat yang sahih" jelas meleset jaaauh.

Kenapa?

Isinya, jika Anda baca utuh (versi saya tiga jilid) berisi hikayat: sahabat yang datang ke Yaman, para pejabat, tokoh, ulama, dan hikayat mereka sepanjang masa kekuasaan Dinasti Rasuli. Dari segi tahun, pun, Al-Suluk punya cakupan, yaitu sejarah thobaqot dari dekade ke-6 (sahabat) hingga abad kedelapan saja (tokoh-tokoh wazir di Yaman).

Jawaban yang tepat kenapa makam Nabi Hud tidak ada di Al-Suluk ialah: Nabi Hud bukan sahabat nabi, dan bukan tokoh Yaman pada era Dinasti Rasuli.

Apa motivasi Al-Janadi menulis buku yang ia sendiri menulis aturan mainnya sudah ditentukan?

Seperti Thurfatul Ash-hab yang diklaim buku sensus yang tidak mencatat Baalawi, padahal di sana tertulis: ini buku tokoh-tokoh asyraf dan non-asyraf yang mengabdi pada Dinasti Rasuli.

Adakah Baalawi yang jadi pegawai negeri sipil Dinasti Rasuli? Tidak ada! Bahkan tidak ada Husaini yang jadi pegawai.

$ads={1}

Tapi apakah tidak ada Husaini dan Baalawi di masa itu?

Anda perlu komparasi dengan kitab lain, dan saya temukan (minimal) 50 tokoh yang menjawab jadi amir di Hijaz, "pegawai non-eselon" di Yaman yang Husaini, dan naqib di Oman yang juga Husaini.

Simpel, kan?

Makanya, saat Kiai Imad menagih sumber sezaman untuk Imam Ubaidillah, sebenarnya saya menilainya sebagai kedok saja. Tidak sepenuhnya "tagihan ilmiah". Karena informasi seperti ini sudah diberi tahu oleh tokoh-tokoh Baalawi dan non-Baalawi abad ketujuh dan kedelapan.

Semisal, Ali Al-Sakran (w. 890 H., pengarang Al-Burqoh Al-Musyiqah) sudah mengakui kesulitan mencari referensi di masa lalu. Sampai-sampai ia bilang:

"Inilah alasan kenapa aku tidak bisa mencari jejak Bajadid dan Ba-Bashri. Entah kenapa mereka sunyi dari pencatatan historis." (hlm. 153)

Satu-satunya yang menulis catatan historis Baalawi cuma satu, yaitu Al-Khotib (non-Baalawi) yang manuskripnya baru saya dapatkan (masih saya telaah). Bamakhramah (non-Baalawi) sering mengutip Al-Khotib.

Dliya Shahab dan Abdillah Nuh (yang meneliti silsilah Baalawi sebagai Azmatkhan ke Ammul Faqih) pun menginformasikan fakta yang sama.

Jadi Kiai Imaduddin bukanlah orang pertama yang mengatakan Ubaidillah sunyi dari sumber sezaman, karena Baalawi sendiri mengakuinya sejak Ali Al-Sakran (paling tidak inilah kitab tasawuf yang sampai kepada kita).

Namun, kenapa saya yakin jejak historis itu ada, dan sumber sezaman barangkali bisa saya temukan?

Karena informasi tentang keturunan Imam Ubaidillah banyak dikisahkan paling marak pada abad kedelapan, dan tidak mungkin mereka isbatkan secara asal-asalan.

Baca juga: Nasab Ba'alawi diakui Keabsahannya Oleh Lembaga Pencatatan Nasab di Iran

Maka, saya mulai pelacakan dari genre lain, yaitu isnad hadis. Kenapa?

Informasi Al-Khotib mengatakan kalau keturunan Bajadid dan Baalawi ada yang belajar hadis dan fikih. Jika mereka luput dikisahkan kitab nasab dan sejarah, mungkin di genre lain saya punya peluang.

Akhirnya dapat, pada manuskrip 589 H. ada nama Bajadid (sudah saya publikasi). Ada dua Bajadid, malah. Dua Bajadid dihimpit satu mujiz yang dikisahkan Al-Janadi sebagai "pendatang Ta'iz", dan orang inilah yang mengkonfirmasi mereka sebagai Syarif-Husaini.

Saya temukan pula pada manuskrip 575 H. (sedang saya proses restorasi), terdapat Abdullah ibn Muhammad Al-Syarif (dan saya duga ini anak Muhammad Shohib Mirbath).

Kenapa saya menduga Syarif-Husaini ini adalah atribusi spesifik?

Karena kitab Sultan Dinasti Rasuli memakai kaidah: Syarif diperuntukkan kepada keturunan Imam Ali dari istri Siti Fathimah, dan selain itu dipanggil Alawi saja (Thurfatul Ash-hab, hlm. 92-93).

Kaidah saya:

اللفظ محمول على عرف المخاطب (بكسر الطاء)

Sebuah atribusi harus disesuaikan dengan kebiasaan penyematnya.

Karena yang memberi penyematan ini adalah Sultan Dinasti Rasuli (kelak, adiknya bikin kitab berjudul Al-'Athaya Al-Saniyah juga melakukan hal yang sama), maka prediksi saya: masyarakat pun memakai atribusi yang sama.

Apakah jika sebutan "Tubagus" dan "KRT" untuk Pak Mogi & Pak Faqih Wirahadiningrat berlaku untuk Keraton saja, kenapa orang-orang menyebutnya dengan Tubagus & KRT? Jika "Gus" adalah atribusi untuk pesantren saja, kenapa Pak Fuad Plered disebut "Gus" di luar itu?

Sederhana, kan?

Saya mencari manuskrip lain, dari genre hadis dan fikih. Salah satunya ialah Muwatho karya Imam Malik. Di sana ada tulisan Ibnu Hajar Al-Asqalani menulis isnad pada manuskrip bertarikh 845 H. dari gurunya, gurunya, gurunya, hingga Imam Malik.

Di manuskrip itu, ada ijazah lagi, dari Fulan, dari Fulan, dari Fulan hingga Ibnu Hajar hingga Imam Malik, tentu saja.

Tulisan Ibnu Hajar ini, jika jatuh di tangan orang Jawa jadi jimat. Tapi bagi peneliti humanis macam saya (sesuai atribusi Kiai Imaduddin pada saya), bisa jadi sumber sezaman.

Baca juga: Silsilah Nasab Ba'alawi Paling Absah Sepanjang Masa

Kenapa?

Saat Bajadid dan Baalawi di abad keenam sudah terkonfirmasi sebagai Syarif-Husaini lewat isnad, lantas seabad kemudian lewat Al-Janadi dituliskan silsilahnya, bukankah ini yang disebut: konfirmasi lewat bukti sezaman?

Dan saya yakin bakal menemukan banyak nama dengan cara ini!

Di bawah ini adalah ijazah Imam Ibnu Hajar (bahkan ditulis dengan tangannya sendiri), saya dapat dari Princeton (New Jersey) lewat Muhammad Hamzah (mahasiswa di Universitas Kairo).

Ternyata, Kitab Muwattho bisa sampai ke kita lewat pundak-pundak isnad dan kesarjanaan di masa lalu. Sama persis saya menemukan nama Bajadid dan Baalawi dalam Sunan Turmudzi (589 H.) dan Sohih Muslim (575 H.)

Bukan pada matan-nya, tapi pada catatan pinggiran. Tahu apa jawaban Kiai Imad tentang catatan pinggiran yang saya unggah (manuskrip 589 H.) itu?

"Catatan privat yang diambil dari lemari!"

Sialan, bukan?

Tapi tak apa, sejak saat itu saya memang tidak melihat beliau sebagai mukhatab saya. Penelitian ini akan saya lanjutkan, dengan atau tanpa beliau sebagai "pihak penggugat".

Toh, ini memang saya mulai dengan penelitian ilmiah. Saya itu merasa "tertantang" saja: masak diisbatkan banyak ulama tapi Baalawi tidak ada bukti historisnya sama sekali? Ah, pasti saya menemukannya!

Begitu batin saya.

Kuis: ada berapa Baalawi yang menjadi sandaran isnad Kitab Muwattho' yang terdapat tulisan tangan Ibnu Hajar di bawah ini?

Kekeliruan Kyai Imaddudin Mengenai Sumber Kitab Nasab Mesti Sezaman

Kekeliruan Kyai Imaddudin Mengenai Sumber Kitab Nasab Mesti Sezaman

Kekeliruan Kyai Imaddudin Mengenai Sumber Kitab Nasab Mesti Sezaman

Oleh: Gus Rumail Abbas

Demikian Artikel " Kekeliruan Kyai Imaduddin Mengenai Sumber Kitab Nasab Mesti Sezaman "

Semoga Bermanfaat

Wallahu a'lam Bishowab

Allahuma sholli 'alaa sayyidina muhammad wa 'alaa aalihi wa shohbihi wa salim

- Media Dakwah Ahlusunnah Wal Jamaah -

Redaksi

Rumah Muslimin Grup adalah Media Dakwah Ahlusunnah Wal jama'ah yang berdiri pada pertengahan tahun 2017 Bermazhab Syafi'i dan berakidah Asyariyyah. Bagi sobat rumah-muslimin yang suka menulis, yuk kirimkan tulisannya ke email kami di dakwahislamiyah93@gmail.com

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama
close