Menghadiahkan Pahala Tahlilan, Sholawat, Dzikir, Shalat Ke Orang yang Masih Hidup

MENGHADIAHKAN PAHALA TAHLILAN, SHOLAWAT, DZIKIR, SHALAT KE ORANG YANG MASIH HIDUP

RUMAH-MUSLIMIN.COM | FIQIH - Tahlilan merupakan tradisi amaliyah aswaja yang dilakukan mayoritas kaum muslimin Indonesia. Tahlilan dikenal menjadi sebuah amaliyah khusus yang dilakukan saat ada orang yang meninggal dunia, biasanya dilaksanakan pada 1,3,7,40,100 hari kematian. Bacaan yang dibaca tersebut dikhususkan pahalanya kepada si mayit agar mendapatkan faidah dari apa yang dibaca oleh orang-orang yang masih hidup selain itu untuk meringankan dosa dan siksa kuburnya. Tidak ada perselisihan diantara ulama terkait menghadiahkan pahala berupa bacaan-bacaan tersebut ke orang yang telah wafat kecuali sebagian kelompok kecil.

Lantas bagaimana jika kalimat-kalimat thoyibah tersebut dibacakan kepada orang yang masih hidup dan diniatkan pahala untuknya? Gus Tsabit Abi Fadhil melalui laman facebooknya membagikan penjelasan terkait hal ini, kamis (2/10/25):

$ads={1}  

ﺣﺎﺷﻴﺔ ﺭﺩ ﺍﻟﻤﺤﺘﺎﺭ ﺝ / 2 ﺹ 263 :

ﻭﻓﻲ ﺍﻟﺒﺤﺮ: ﻣﻦ ﺻﺎﻡ ﺃﻭ ﺻﻠﻰ ﺃﻭ ﺗﺼﺪﻕ ﻭﺟﻌﻞ ﺛﻮﺍﺑﻪ ﻟﻐﻴﺮﻩ ﻣﻦ ﺍﻻﻣﻮﺍﺕ ﻭﺍﻻﺣﻴﺎﺀ ﺟﺎﺯ، ﻭﻳﺼﻞ ﺛﻮﺍﺑﻬﺎ ﺇﻟﻴﻬﻢ ﻋﻨﺪ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﻭﺍﻟﺠﻤﺎﻋﺔ، ﻛﺬﺍ ﻓﻲ ﺍﻟﺒﺪﺍﺋﻊ، ﺛﻢ ﻗﺎﻝ: ﻭﺑﻬﺬﺍ ﻋﻠﻢ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻓﺮﻕ ﺑﻴﻦ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺍﻟﻤﺠﻌﻮﻝ ﻟﻪ ﻣﻴﺘﺎ ﺃﻭ ﺣﻴﺎ . ﻭﺍﻟﻈﺎﻫﺮ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻓﺮﻕ ﺑﻴﻦ ﺃﻥ ﻳﻨﻮﻱ ﺑﻪ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻔﻌﻞ ﻟﻠﻐﻴﺮ ﺃﻭ ﻳﻔﻌﻠﻪ ﻟﻨﻔﺴﻪ, ﺑﻌﺪ ﺫﻟﻚ ﻳﺠﻌﻞ ﺛﻮﺍﺑﻪ ﻟﻐﻴﺮﻩ، ﻻﻃﻼﻕ ﻛﻼﻣﻬﻢ، ﻭﺃﻧﻪ ﻻ ﻓﺮﻕ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﻔﺮﺽ ﻭﺍﻟﻨﻔﻞ ﺍﻩ. ﻭﻓﻲ ﺟﺎﻣﻊ ﺍﻟﻔﺘﺎﻭﻯ: ﻭﻗﻴﻞ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺮﺍﺋﺾ ﺍﻩ . ﻭﻓﻲ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﺮﻭﺡ ﻟﻠﺤﺎﻓﻆ ﺃﺑﻲ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﺪﻣﺸﻘﻲ ﺍﻟﺤﻨﺒﻠﻲ ﺍﻟﺸﻬﻴﺮ ﺑﺎﺑﻦ ﻗﻴﻢ ﺍﻟﺠﻮﺯﻳﺔ ﻣﺎ ﺣﺎﺻﻠﻪ: ﺃﻧﻪ ﺍﺧﺘﻠﻒ ﻓﻲ ﺇﻫﺪﺍﺀ ﺍﻟﺜﻮﺍﺏ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺤﻲ، ﻓﻘﻴﻞ ﻳﺼﺢ ﻻﻃﻼﻕ ﻗﻮﻝ ﺃﺣﻤﺪ: ﻳﻔﺼﻞ ﺍﻟﺨﻴﺮ ﻭﻳﺠﻌﻞ ﻧﺼﻔﻪ ﻻﺑﻴﻪ ﺃﻭ ﺃﻣﻪ، ﻭﻗﻴﻞ ﻻ , ﻟﻜﻮﻧﻪ ﻏﻴﺮ ﻣﺤﺘﺎﺝ ﻻﻧﻪ ﻳﻤﻜﻨﻪ ﺍﻟﻌﻤﻞ ﺑﻨﻔﺴﻪ

Hasyiyah Roddul mukhtar

Dalam kitab alBaḥr disebutkan: “Siapa saja yang berpuasa, shalat, atau bersedekah, lalu menghadiahkan pahala amal itu kepada orang lain, baik kepada orang yang sudah meninggal maupun yang masih hidup, maka hal itu boleh, dan pahala tersebut akan sampai kepada mereka menurut para Ahlus Sunnah wal Jama‘ah, Demikian pula disebutkan dalam kitab al-Bada'i

Baca juga: Sejarah Tahlilan Dimulai Era Nabi Muhammad Saw

Kemudian beliau berkata: “Dengan ini diketahui bahwa tidak ada perbedaan apakah orang yang dihadiahkan pahala itu sudah meninggal atau masih hidup. Dan yang tampak, tidak ada perbedaan pula apakah ketika melakukan amal ia meniatkannya sejak awal untuk orang lain, atau ia melakukannya untuk dirinya sendiri kemudian setelah selesai ia menghadiahkan pahalanya kepada orang lain, karena perkataan para ulama bersifat mutlak. Juga tidak ada perbedaan antara amal yang wajib maupun yang sunnah.”

Baca juga: 3 Kalimat Pembuka Mimpin Tahlilan Dan Yasinan

Namun dalam jamiul fatawa disebutkan: “Ada pendapat yang mengatakan tidak boleh pada amal-amal yang fardhu.”

Dan dalam Kitab arruh karya al hafidz abu abdillah addimasyqi al hambali yang terkenal dengan nama Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, ringkasannya:

“Para ulama berbeda pendapat tentang menghadiahkan pahala kepada orang yang masih hidup. Ada yang mengatakan boleh, berdasarkan pernyataan Imam Ahmad: ‘Seseorang boleh melakukan kebaikan dan menjadikan setengah pahalanya untuk ayahnya atau ibunya.’ Dan ada yang mengatakan tidak boleh, karena orang yang masih hidup tidak membutuhkannya, sebab ia mampu beramal sendiri.”

Wallahu a'lam..

Sumber: Gus Tsabit Abi Fadhil

Editor: Hendra, S/Rumah-Muslimin

(Rumah Muslimin)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama
close